Nationalgeographic.co.id—Shinta Ratri, seorang transgender perempuan Indonesia, mengajarkan kepada para transgender di pesantren Al-Fatah yang didirikannya pada tahun 2008 bahwa Tuhan tidak peduli apakah Anda gay atau transgender.
Terletak di Yogyakarta, di selatan Jawa, pesantren tersebut menyediakan tempat yang aman di negara di mana agama dan identitas transgender sering dianggap tidak cocok. Meskipun Indonesia bertransisi ke demokrasi sekuler pada tahun 1998, semua orang dewasa harus membawa kartu identitas yang jelas menyatakan agama mereka.
Indonesia adalah penandatangan Deklarasi Beijing 1995, yang mengamanatkan "tanggung jawab negara untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak warga negaranya atas hak kesehatan seksual dan reproduksi."
Namun, hanya ada sedikit perlindungan hukum yang tersedia bagi komunitas LGBTIQ. Di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini, pandangan agama fundamentalis sering kali dapat mendorong diskriminasi terhadap komunitas transgender.
Sharyn Graham Davies, Director Herb Feith Indonesian Engagement Centre sekaligus peneliti dari Monash University telah melacak hubungan antara negara Indonesia, gender, seksualitas dan agama selama lebih dari dua dekade. "Saya telah menemukan bahwa iman dapat menjadi sumber kenyamanan dan dukungan bagi banyak transgender," kata Davies dalam sebuah tulisannya di The Conversation.
Banyak orang di Indonesia, bahkan di luarnya, percaya bahwa gagasan gender dan keragaman seksual datang ke nusantara hanya melalui pengaruh Barat. Namun, sebagian wilayah Indonesia, seperti pulau Sulawesi, telah menjadi rumah bagi komunitas transgender setidaknya sejak tahun 1500-an.
"Selama waktu ini, para misionaris dan utusan perdagangan yang melakukan perjalanan ke wilayah tersebut mencatat dalam jurnal-jurnal pribadi mereka apa, bagi mereka, merupakan aspek masyarakat yang luar biasa—bahwa orang-orang dengan tubuh laki-laki bertindak seperti perempuan," papar Davies.
Pelancong Eropa Antonio de Paiva menulis dalam sebuah surat pada tahun 1544 bahwa sebuah kelompok yang disebut bissu memainkan peran kunci di istana kerajaan dan bahwa mereka "tidak menumbuhkan rambut di janggut mereka, berpakaian dengan gaya wanita ... dan mengadopsi semua gerakan dan kecenderungan wanita." Sebagai pemuka agama, bissu adalah penasihat, penyelenggara pernikahan, dan perantara antara keluarga kerajaan dan para dewa.
Selain itu, bahasa Indonesia memiliki beberapa kata untuk menyebut waria, seperti banci, bencong, wadam, dan waria. Beberapa kata tersebut, seperti wadam dan waria, menggabungkan kata bahasa Indonesia untuk perempuan dan laki-laki. Wadam berasal dari kata wanita dan kata adam yang berarti pria, dan waria menggabungkan kata wanita dengan kata pria.
Kata-kata atau sebutan banci, bencong, dan wadam sekarang dianggap menghina, dan istilah yang lebih netral seperti transpuan atau transpria kemudian bermunculan. Namun, jumlah kata menunjukkan peran historis waria serta tempat sentral mereka dalam kehidupan sosial.
Diskriminasi dan tuntutan hukum
Saat ini, Indonesia tidak mengkriminalkan seksualitas sesama jenis. Namun, kaum LGBTIQ sering berisiko dilecehkan dan ditahan oleh polisi.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR