Darah untuk Dewa, Ini Kebudayaan yang Melakukan Pengurbanan Manusia

By Sysilia Tanhati, Senin, 9 Januari 2023 | 15:30 WIB
Di zaman kuno, banyak sekali kebudayaan yang terlibat dalam ritual pengurbanan manusia. (Cook's 'Voyages)

Nationalgeographic.co.id—Di zaman kuno, banyak sekali peradaban yang terlibat dalam ritual pengurbanan. Seringkali, pengurbanan ini melibatkan manusia lain. Bahkan karena kurban manusia itu begitu umum, praktik ini dianggap sebagai aspek kehidupan yang normal. Bahkan dalam beberapa kebudayaan, menjadi kurban untuk dewa merupakan suatu kehormatan tersendiri. Berikut adalah beberapa kebudayaan yang melakukan pengurbanan manusia.

Bangsa Etruria

Bangsa Etruria bermukim di Toskana modern. Mayoritas penduduknya adalah petani yang akan berdagang dengan daerah terdekat, seperti Kartago dan Yunani. Sejarawan awal tidak yakin bahwa orang Etruria terlibat dalam pengurbanan manusia. “Namun penggalian baru-baru ini mengungkap banyak situs pengurbanan manusia,” tulis Lex Leigh di laman Ancient Origins.

Sisa-sisa mayat orang dewasa, anak-anak, dan bayi ditemukan dikelilingi oleh benda-benda keagamaan.

Dalam salah satu penemuan, jasad anak kecil ditemukan dalam keadaan terpenggal, dengan kakinya digunakan sebagai fondasi di bawah tembok. Selain itu, teks-teks kuno yang menggambarkan praktik pengurbanan manusia dan karya seni,ditemukan di wilayah ini.

Tiongkok kuno

Pengurbanan manusia dipraktikkan di Tiongkok kuno selama berabad-abad. Itu sangat umum selama dinasti Shang, antara 1600 - 1046 Sebelum Masehi.

Selain untuk tujuan agama, pengurbanan manusia dilakukan untuk tujuan politik. Ritual ini tidak mengenal batas di Tiongkok. Mereka yang berkuasa sering mengorbankan pria, wanita, anak-anak, dan bahkan bayi dengan cara kekerasan dan menyakitkan yang tak terkatakan.

Dilihat dari sisi agama atau kepercayaan, pengurbanan ini merupakan cara untuk menyenangkan leluhur. Beberapa ritual melibatkan pemenggalan beberapa laki-laki dalam suatu suku untuk menghormati leluhur laki-laki mereka. Konon, leluhur yang penting membutuhkan lebih banyak kepala. Jenis pengurbanan ini disebut sebagai pengorbanan lubang dan tubuh pria yang dipotong-potong akan dikubur tanpa harta duniawi.

Bayi dan anak-anak juga mengalami nasib yang mengenaskan. Mereka yang menjadi kurban dibunuh secara brutal kemudian dikuburkan tanpa harta.

Mesopotamia

“Orang Mesopotamia sering terlibat dalam ritual pengurbanan sebagai bagian utama dari ritual penguburan kaum elit,” ungkap Leigh. Mirip dengan orang Mesir, pelayan, prajurit, dan pelayan istana lainnya akan dikorbankan untuk terus bekerja untuk tuannya di akhirat.

Berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan, diyakini bahwa orang-orang ini dibunuh oleh tombak yang ditancapkan di kepala. Setelah dikurbankan, tubuh mereka akan ditempatkan secara dekoratif di sekeliling tuannya. Mereka sering dimakamkan dengan alat apa pun yang mereka perlukan untuk terus melayani tuannya.

Orang Hawaii kuno

Percaya atau tidak, orang Hawaii kuno cukup sering melakukan ritual pengurbanan. Peradaban ini percaya bahwa mereka bisa mendapatkan bantuan dari Ku, dewa perang, dengan mengurbankan manusia lain.

Jika dewa perang membantu, mereka akan memenangkan setiap pertempuran. Pengurbanan ini dilakukan di kuil suci yang didedikasikan untuk Ku yang disebut Heiau.

Para kurban, yang seringkali merupakan pemimpin dari suku lain, akan digantung terbalik di rak kayu dan disiksa selama beberapa jam. Setelah itu, pendeta akan diurapi dengan keringat para kurban, dikumpulkan dengan hati-hati selama proses penyiksaan.

Kurban kemudian akan dipukuli dengan pentungan sampai tubuhnya empuk. Dagingnya akan dikonsumsi (baik dimasak atau mentah) oleh pendeta dan pemimpin suku lainnya yang hadir.

Inca

Peradaban Inca sering menggunakan ritual pengurbanan sebagai cara untuk menenangkan para dewa.

Dulu, suku Inca menghadapi banyak bencana alam, antara lain gempa bumi, banjir, dan letusan gunung berapi. Mereka kemudian memutuskan bahwa pengurbanan manusia akan menenangkan para dewa. Juga mengakhiri penderitaan penduduk ketika terjadi bencana alam tersebut.

Suku Inca terkenal dengan ritual pengurbanan anak yang disebut capacocha. Memiliki anak yang menjadi kurban bagi dewa merupakan kehormatan tersendiri. (Museo Nacional de Historia Natural)

Pada awalnya, kurbannya adalah tawanan perang. Namun ketika bencana alam tidak berhenti setelah pengurbanan tawanan perang dilakukan, mereka mulai menggunakan anak-anak. Keyakinannya adalah bahwa anak-anak lebih polos dan murni daripada tahanan. “Ini tentu lebih menyenangkan para dewa,” Leigh menambahkan lagi.

Akhirnya, anak-anak mulai dibesarkan dengan tujuan tunggal untuk dikurbankan bagi para dewa. Anak-anak ini harus tetap sehat secara fisik dan akan diberi makan serta diperlakukan dengan baik sampai kematian mereka. Ini sama seperti hewan yang sering disiapkan untuk disembelih.

Sebelum dikurbankan, anak-anak akan diberi pesta besar dan pertemuan dengan kaisar sebelum eksekusi.

Bangsa Mesir kuno

Ada bukti yang menunjukkan bahwa orang Mesir kuno terlibat dalam beberapa tingkat ritual pengurbanan.

Di beberapa daerah, penemuan makam kurban menunjukkan bahwa orang Mesir kuno melakukan berbagai jenis kurban keagamaan, beberapa di antaranya termasuk manusia.

Di Mesir kuno, pelayan dikuburkan dengan firaun yang meninggal. Tujuannya agar mereka dapat terus melayani sang tuan. Karena perubahan budaya, pengorbanan hamba yang masih hidup akhirnya dihentikan dan digantikan dengan tokoh-tokoh simbolik. (Metropolitan Museum of Art)

Beberapa makam, termasuk milik Raja Djer dan Raja Aha, berisi jenazah para pelayan mereka di sampingnya. Leigh menambahkan, “Dalam beberapa kasus, bukti menunjukkan para pelayan dikubur hidup-hidup di samping tubuh majikan mereka.”

Catatan lain menunjukkan bahwa para pelayan dibunuh sebagai kurban setelah tuannya meninggal. Tujuannya agar mereka dapat terus melayani sang tuan di akhirat.

Praktik ini sangat umum bagi para pelayan firaun. Karena perubahan budaya, pengorbanan hamba yang masih hidup akhirnya dihentikan dan digantikan dengan tokoh-tokoh simbolik.

Kartago

Salah satu peradaban terkaya dan terkuat di zaman kuno, orang Kartago tidak asing dengan ritual pengurbanan.

Mereka bahkan secara khusus dikenal karena pengurbanan brutal anak-anak untuk mendapatkan bantuan para dewa. Sebagian besar kurbannya adalah bayi, karena dipandang sebagai bentuk kehidupan paling murni yang dapat dipersembahkan kepada para dewa.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ada alasan tambahan untuk pengurbanan bayi ini di luar alasan agama. Karena kekayaan dan kekuasaan, diyakini bahwa orang Kartago takut jika ledakan populasi akan menipiskan sumber daya mereka. Mengurbankan bayi akan menjadi cara yang tampaknya sederhana untuk menekan ledakan penduduk karena aborsi belum dipraktikkan.

Alasan lain untuk pengurbanan ini mungkin adalah kekayaan keluarga. Semakin banyak anak yang dimiliki sebuah keluarga, semakin sedikit harta yang akan tersebar di antara keturunannya. Menjaga keluarga tetap kecil akan menjaga kekayaan mereka tetap utuh. Ini mungkin menyebabkan beberapa keluarga mempersembahkan bayi mereka sebagai kurban.

Suku Aztec

Suku Aztec terkenal karena kebrutalan mereka. Tidak asing dengan kekerasan, suku Aztec juga terlibat dalam pengurbanan manusia dalam jumlah yang signifikan untuk tujuan keagamaan. Alasan utama adalah kepercayaan bahwa matahari akan mati jika mereka tidak memberikan persembahan yang cukup kepada para dewa.

Ilustrasi ritual pengurbanan manusia oleh suku Aztek yang berdarah-darah. Jantung dan darah korban diambil untuk diberikan kepada para dewa. (Wikimedia Commons)

Dalam peradaban Aztec, darah manusia dipandang sebagai kekuatan hidup yang suci. Huitzilopochtli adalah dewa utama mereka, yang mewakili matahari. Mereka percaya Huitzilopochtli membutuhkan sebagian dari kekuatan hidup ini untuk terus memberkati mereka. Juga membiarkan suku Aztec terus hidup di Bumi.

“Keyakinan tersebut begitu kuat sehingga beberapa individu bahkan rela dikurbankan untuk mempertahankan matahari,” kata Leigh. Mereka juga akan mengurbankan tawanan perang ketika sudah tidak dibutuhkan lagi.

Pengurbanan ritual ini brutal dan dieksekusi di depan umum. Para kurban harus naik ke puncak kuil, yang seringkali berupa banyak anak tangga, untuk mencapai pendeta. Pendeta kemudian akan mengiris tubuh mereka dari tenggorokan ke panggul. Tubuh kemudian akan dilempar menuruni tangga untuk dipotong-potong. Sedangkan hati disimpan untuk pengurbanan agama lainnya kepada para dewa.

Dalam beberapa teks kuno, dilaporkan bahwa suku Aztec pernah mengurbankan 80.400 tahanan hanya dalam waktu empat hari. Jika angka ini akurat, dapat diasumsikan bahwa suku Aztec mengorbankan ratusan ribu orang setiap tahun demi matahari.

Kelt

Sebelum memeluk agama Kristen pada abad ke-1 Masehi, diyakini bahwa bangsa Kelt terlibat dalam sejumlah besar ritual pengurbanan manusia.

Satu teks yang ditulis oleh Strabo, seorang filsuf Yunani, menggambarkan pengurbanan manusia sebagai bagian sentral dari banyak ritual Kelt. Dia mengeklaim bahwa mereka akan berkumpul dengan Druid, pendeta Kelt kuno.

Kurban dipukul di bagian belakang kepala mereka dengan pedang. Druid kemudian akan bernubuat berdasarkan "kejang kematian" korban sebelum membakar tubuh mereka.

Sarjana lain memperdebatkan catatan ini, mengeklaim bahwa hanya ada sedikit bukti tambahan yang menunjukkan bahwa bangsa Kelt melakukan pengurbanan manusia. Namun, telah ditemukan setidaknya satu sisa-sisa kurban manusia di wilayah tersebut. Mereka dikurbankan dengan cara dicekik, dipukul di kepala, dan dipotong lehernya.

Untungnya, ritual pengurbanan manusia tidak sesering dulu. Menurut cendekiawan modern, hanya sedikit kebudayaan yang masih mempraktikkan jenis pengurbanan ini. Tentu saja, ritual ini seringkali dilakukan secara rahasia.

Antara hukum modern dan pergeseran agama dari waktu ke waktu, pengurbanan manusia di zaman modern dianggap sebagai pembunuhan.