Iklan Postspaarbank dalam Propaganda Bank di Zaman Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 11 Januari 2023 | 07:05 WIB
Gedung Postspaarbank di Weltevreden (kini kecamatan Gambir, Jakarta Pusat) pada tahun 1925–1930. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Pada masa Hindia Belanda, periklanan telah menjadi strategi utama untuk menawarkan suatu produk. Terkadang, mereka membuat branding tersendiri dalam misi propagandanya.

Periklanan dilakukan melalui kolom-kolom pada majalah dan Koran yang diterbitkan secara masif sejak tahun 1744.

Surat kabar menjadi senjata untuk menyebar informasi sampai ke pelosok negeri, di mana mulai diterbitkan De Bataviaasche Nouvelles sebagai surat kabar pertamanya.

Dalam surat kabar itu memberitakan tentang perlawanan Jan Pieterzoon Coen (Pemimpin VOC – Hindia-Belanda) terhadap Portugis dalam perdagangan rempah di kawasan Hindia-Belanda.

Pada perkembangan media masa selanjutnya, untuk mendorong para bangsawan dalam menyimpan uang di Bank, Postspaarbank meluncurkan poster di media masa yang terbit pada tahun 1933.

"Dibuat poster yang menggunakan gaya ilustrasi yang masih sederhana," tulis Siti Nurhayati kepada jurnal Ilmu Sejarah dalam jurnalnya berjudul Nasionalisasi dan Dinamika Bank Tabungan Negara Tahun 1950-1968 yang terbit tahun 2016.

Melalui sebuah ilustrasi sederhana yang memberikan pesan secara visual, Bank Nasional Hindia-Belanda mempersuasi untuk mulai menabung bagi masyarakat Pribumi yang mampu menyisihkan uangnya untuk menabung.

Leaflet yang disebarkan Postspaarbank melalui media massa di Hindia Belanda. (Surabaya Historical/Facebook)

Dalam gambar tersebut, merepresentasikan dua pria paruh baya saling bertatap muka dengan keadaan yang bertolak belakang. Pria pertama digambarkan sebagai seorang priyayi, sedangkan pria kedua tampak berprofesi sebagai seorang pengemis dengan posisi jongkok (rendah).

Intisari dari iklan lama ini ialah ajakan menabung di bank, barangsiapa menyia-nyiakan uangnya kelak akan mengalami kesusahan. Iklan semacam ini merupakan propaganda marketing yang jitu di kala itu, "Toean dan njonja siapa jang tak tergioer!".

Baca Juga: Sejarah Banjir Jakarta: Mengapa Tak Tertangani sejak Hindia Belanda?

Baca Juga: Cerita Jelang Masuknya Film ke Hindia Belanda pada Awal Abad ke-20