Nationalgeographic.co.id—Praktik pengikatan kaki diperkirakan telah dilakukan di Tiongkok sejak abad ke-10 dan berlangsung hingga 1949. Beberapa bukti awal praktik tersebut berasal dari makam Lady Huang Sheng. Istri seorang anggota klan kekaisaran ini meninggal pada tahun 1243. Para arkeolog menemukan kaki kecil cacat yang dibungkus dengan kain kasa dan mengenakan "sepatu teratai" yang berbentuk khusus. Untuk mendapatkan bentuk kaki seperti itu, seorang wanita harus menjalani proses menyakitkan. Di masa itu, kaki teratai menjadi simbol kecantikan wanita Tiongkok. Meski menyakitkan dan tampak kejam, mengapa tradisi mengikat kaki bisa bertahan selama seribu tahun?
Praktik pengikatan kaki wanita dilakukan sejak kecil
Pengikatan kaki, praktik budaya, yang ada di Tiongkok dari abad ke-10 hingga berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949. Praktik ini melibatkan pembalutan ketat pada kaki wanita untuk mengubah bentuknya demi tujuan estetika.
Pengikatan kaki biasanya dimulai saat anak perempuan berusia antara 4 dan 6 tahun. "Beberapa masih berusia 3 tahun dan beberapa berusia 12 tahun," ungkap Tiffany Marie Smith di laman Britannica.
Ibu, nenek, atau kerabat wanita yang lebih tua pertama-tama mengikat kaki gadis kecil. Tujuan utamanya adalah untuk membuatnya sepanjang 8 sentimeter. Itu adalah ukuran kaki "teratai emas" yang ideal, meskipun hanya sedikit orang yang benar-benar mencapai ukuran tersebut.
Penari istana di abad ke-10 dipercaya menjadi pelopor praktik pengikatan kaki
Mengikat kaki konon terinspirasi oleh penari istana abad kesepuluh bernama Yao Niang yang mengikat kakinya menjadi bentuk bulan baru.
Si penari menari di atas jari kakinya di dalam teratai emas yang dihiasi pita dan batu mulia. Tentu saja, dengan segera ia memikat sang kaisar.
Selain mengubah bentuk kaki, praktik ini menghasilkan cara berjalan tertentu yang mengandalkan otot paha dan bokong sebagai penopang. "Sejak awal, pengikatan kaki dijiwai dengan nuansa erotis," tulis Amanda Foreman di laman Smithsonian Magazine.
Lambat laun, dayang-dayang lainnya—dengan uang, waktu, dan kekosongan yang harus diisi—mengikat kaki. Ini pun menjadi simbol status di kalangan elite.
Sebuah kaki kecil di Tiongkok, tidak berbeda dengan pinggang kecil di Victoria Inggris, menjadi simbol nilai seorang wanita.
Untuk keluarga dengan anak perempuan yang sudah menikah, ukuran kaki diterjemahkan ke dalam bentuk mata uangnya sendiri. Pengantin yang paling diinginkan memiliki kaki 8 sentimeter, yang dikenal sebagai "teratai emas".
Merupakan hal yang terhormat untuk memiliki kaki berukuran 10 sentimeter — teratai perak — tetapi kaki 12,7 sentimeter atau lebih dianggap sebagai teratai besi. Semakin besar ukuran kakinya maka prospek pernikahannya pun makin meredup.
"Mengerikan memang, menyadari bahwa setiap aspek kecantikan wanita terikat erat dengan rasa sakit," tambah Foreman lagi.
Makna di balik praktik pengikatan kaki
Meskipun pengikatan kaki dimulai di kelas atas, praktik ini menyebar dengan cepat. Di keluarga yang lebih miskin yang tidak mampu membeli perban, pengikatan kaki tidak dilakukan sampai anak perempuan itu lebih besar. Begitu seorang gadis menikah, perbannya dilepas, dan dia masuk kembali ke dunia pernikahan.
Mengikat kaki dipandang sebagai ritus peralihan untuk gadis-gadis muda dan diyakini sebagai persiapan untuk pubertas, menstruasi, dan persalinan. Itu melambangkan kesediaan seorang gadis untuk patuh.
Praktik ini membatasi mobilitas dan kekuatan perempuan, serta membuat mereka tetap berada di bawah laki-laki. "Maka tidak heran jika ini meningkatkan perbedaan antar jenis kelamin," ujar Smith.
Pengikatan kaki memastikan seorang gadis dapat dinikahi dalam budaya Tionghoa patrilineal. Bagi seorang gadis, ini juga menjadi ikatan bersama antara anak perempuan, ibu, dan nenek.
Merupakan simbol prestise, ada kepercayaan populer bahwa praktik ini meningkatkan kesuburan wanita. Pasalnya, darah akan mengalir ke kaki, pinggul, dan area vagina.
Proses panjang dan menyakitkan untuk membuat kaki menjadi "indah"
Pertama, kakinya dicelupkan ke dalam air panas dan kuku kakinya dipotong pendek. Kemudian kaki dipijat dan diminyaki. Lalu semua jari kaki, kecuali jempol kaki, dipatahkan dan diikat rata dengan telapak kaki, membentuk segitiga.
Selanjutnya, lengkungannya tegang saat kakinya ditekuk dua kali. Akhirnya, kaki diikat menggunakan pita sutra berukuran panjang 3 meter dan 5 sentimeter.
Pembungkus ini dilepas sebentar setiap dua hari untuk mencegah darah dan nanah menginfeksi kaki. Kadang-kadang daging yang "berlebihan" dipotong atau dibiarkan membusuk.
Gadis-gadis itu terpaksa berjalan jauh untuk mempercepat patahnya lengkungan kaki. Seiring waktu, pembungkusnya menjadi lebih ketat dan sepatu menjadi lebih kecil karena tumit dan solnya disatukan.
Setelah dua tahun, prosesnya selesai, menciptakan celah yang dalam yang dapat menahan koin di tempatnya. Begitu sebuah kaki dihancurkan dan diikat, bentuknya tidak dapat dikembalikan tanpa seorang wanita mengalami rasa sakit yang sama lagi.
Mengapa praktik pengikatan kaki bertahan selama satu milenium di Tiongkok?
Pengikatan kaki, yang dimulai sebagai dorongan gaya, menjadi ekspresi identitas Han setelah invasi Mongol pada tahun 1279. Fakta bahwa itu hanya dilakukan oleh wanita Tiongkok mengubah praktik tersebut menjadi semacam simbol kebanggaan etnis. Upaya berkala untuk melarangnya, seperti yang dicoba oleh orang Manchu pada abad ke-17. Namun larangan itu sebenarnya bertujuan untuk menghapus makna dan tujuan di baliknya alih-alih praktik menyakitkan.
Bagi orang Tiongkok, praktik itu adalah bukti keunggulan budaya mereka terhadap orang barbar kasar yang memerintah mereka. Itu menjadi titik perbedaan lain antara Han dan seluruh dunia.
Mengikat kaki sebagai komitmen terhadap nilai-nilai Konfusionisme
Cendekiawan Konfusius pada awalnya mengutuk pengikatan kaki sebagai hal yang sembrono. Namun mereka menekannya pada pentingnya kepatuhan seorang wanita terhadap suami dan keluarga.
Bentuk-bentuk awal Konfusianisme telah menekankan kesalehan, tugas, dan pembelajaran berbakti. Bentuk yang berkembang selama era Song, Neo-Konfusianisme, adalah agama negara terdekat yang dimiliki Tiongkok. Ini menekankan keutuhan harmoni sosial, ortodoksi moral dan perilaku ritual. Bagi wanita, Neo-Konfusianisme memberi penekanan ekstra pada kesucian, kepatuhan, dan ketekunan.
Baca Juga: Tujuh Pemimpin Gila Sepanjang Sejarah, dari Tiongkok Kuno hingga Rusia
Baca Juga: 8.000 Prajurit Terakota: para Penjaga Kaisar Qin Shi Huang di Akhirat
Baca Juga: Kisah Kaisar Qin Shi Huang, si Pencari Keabadian yang Bernasib Tragis
Baca Juga: Berasal dari Tiongkok, Sejak Kapan Padi Mulai Dibudidayakan?
Baca Juga: Seperti Apa Alat Pendeteksi Gempa Pertama dari Zaman Tiongkok Kuno?
Seorang istri yang baik seharusnya tidak memiliki keinginan selain untuk melayani suaminya. Juga tidak memiliki ambisi selain untuk melahirkan anak laki-laki. Serta tidak memiliki kepentingan selain menundukkan dirinya kepada keluarga suaminya—artinya, dia tidak boleh menikah lagi jika menjadi janda.
Setiap ajaran Konfusianisme tentang perilaku moral wanita menyertakan contoh wanita yang siap mati atau menderita mutilasi. Tindakan itu untuk membuktikan komitmen mereka pada "Jalan Orang Bijak".
Praktik mengikat kaki—rasa sakit dan keterbatasan fisik yang ditimbulkannya—menjadi bukti atas komitmen wanita terhadap nilai-nilai Konfusianisme.
"Faktanya, meski menyakitkan namun pengikatan kaki dialami, diabadikan dan dilakukan oleh wanita," Foreman menambahkan.
Meskipun sekarang benar-benar ditolak di Tiongkok—pabrik sepatu terakhir yang membuat sepatu teratai ditutup pada tahun 1999. Pabrik sepatu ini bertahan selama seribu tahun sebagian karena investasi emosional perempuan dalam praktik tersebut.