Peneliti Identifikasi Protein Penangkal Bisa Ular Derik

By Utomo Priyambodo, Rabu, 18 Januari 2023 | 11:00 WIB
Ular derik albino. Ular derik termasuk ular yang berbisa. (Matt Giorgianni)

Nationalgeographic.co.id—Setiap tahunnya, ular berbisa telah menyebabkan sekitar 120.000 kematian di seluruh dunia. Lalu ada pula sekitar 400.000 kecatatan atau disabilitas di seluruh dunia per tahun akibat gigitan ular berbisa.

Untuk mengurangi dan mencegah keparahan akibat gigitan ular berbisa, tim ahli biologi University of Maryland meluncurkan penyelidikan ke dalam genom ular derik punggung berlian dari barat (Crotalus atrox). Ini adalah spesies dengan lebih banyak racun atau bisa yang dikodekan dalam genomnya daripada ular derik lainnya yang dikenal.

Tim peneliti akhirnya mengidentifikasi satu protein yang disebut FETUA-3. Protein ini disebut dapat menghambat spektrum racun ular derik yang luas.

Laporan studi para peneliti itu telah terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Temuan ini memiliki implikasi penting untuk pengembangan perawatan gigitan ular yang lebih baik.

"Pengobatan gigitan ular yang baik harus mampu menangkal racun lebih dari satu spesies ular," kata penulis senior studi Sean Carroll, seorang Profesor Biologi di University of Maryland dan wakil presiden untuk pendidikan sains di Howard Hughes Medical Institute (HHMI).

"FETUA-3 menghambat banyak racun—lebih dari 20—yang kami deteksi dan bahkan mengikat dan menghambat racun-racun dari bisa beberapa ular derik lain yang kami uji. Kita perlu mempelajari lebih lanjut tentang seberapa luas FETUA-3 dapat diterapkan atau apakah perlu beberapa penyesuaian tambahan, tetapi mengetahui bahwa protein yang satu ini dapat menetralkan seluruh kelas racun membuat para peneliti semakin dekat untuk menciptakan antibisa yang lebih baik."

Sebuah misteri sejarah alam

Menurut Carroll, penelitian tim dimulai dengan teka-teki sederhana tetapi menarik yang telah lama dihindari para peneliti: bagaimana dan mengapa ular berbisa kebal terhadap racunnya sendiri?

Baca Juga: Kematian Alprih Priyono dan Perlunya Aturan Pemeliharaan Ular

Baca Juga: Dunia Hewan: Deskripsi Spesies Baru Ular Badak di Pulau Hainan

Baca Juga: Perdagangan Ular di Indonesia Disorot: Apakah Cukup Berkelanjutan? 

"Ini seperti perlombaan senjata biologis tiga arah yang konstan di mana masing-masing pihak selalu berinovasi untuk menaklukkan yang lain," jelas Carroll, seperti dikutip dari keterangan tertulis University of Maryland.

"Untuk bertahan hidup dari gigitan ular berbisa, mangsa harus mengembangkan ketahanan terhadap bisa itu. Jika mangsa menjadi sedikit kebal, maka ular harus menyesuaikan diri dengan bisa yang lebih baik. Namun, ular juga mampu melindungi diri dari bisa mereka sendiri yang berkembang selama perlombaan senjata mereka melawan mangsa. Tujuan kami adalah mencari tahu proses persisnya bagaimana."

Kebanyakan bisa ular membawa gudang racun berbahaya yang memfasilitasi kelumpuhan, pembunuhan, dan pencernaan mangsa. Salah satu komponen inti dalam racun ular berbisa adalah kelas molekul yang disebut metaloproteinase, yang mencegah pembentukan gumpalan darah, memecah jaringan dan akhirnya menyebabkan perdarahan. Untuk melindungi diri dari racun ini, baik ular maupun mangsanya mengandalkan protein khusus yang dikodekan dalam genom mereka yang menghalangi efek racun yang melemahkan.

Para peneliti menyelidiki keluarga dari lima protein yang umumnya dikaitkan dengan resistensi racun. Tanpa diduga, hanya satu anggota keluarga protein yang memiliki sebagian besar aktivitas penangkal racun, yakni FETUA-3, yang mengikat hampir semua racun dalam bisa ular derik punggung berlian dari barat. Protein itu juga mengikat dan menghambat racun dari bisa beberapa ular derik lainnya.

Tim peneliti berharap temuan mereka akan membantu para peneliti mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana FETUA-3 dan protein-protein penghambat toksin lainnya dapat berfungsi sebagai bahan untuk perawatan gigitan ular yang lebih efektif.

“Banyak perawatan saat ini menggunakan teknologi kuno dan antibisa yang memiliki kelemahan, termasuk dalam hal variasi atau kurangnya potensi, ketidakmurnian yang memicu efek samping, dan ketidakkonsistenan pembuatan,” kata penulis utama studi tersebut Fiona Ukken, seorang spesialis di Departemen Biologi University of Maryland dan HHMI.

"Namun, dengan meningkatkan pemahaman kita tentang dasar molekuler dari penghambatan bisa, kita dapat membantu menciptakan perawatan terapeutik yang baru dan lebih efektif."