Baru-baru ini sebuah video yang dinarasikan sebagai aksi seorang ibu yang menembak mati pembunuh anaknya viral di media sosial.
Dalam cuplikan video tersebut, disebutkan bahwa sang ibu memilih untuk menghabisi nyawa pembunuh anaknya di ruang sidang tentang kasus pembunuhan anaknya.
(Kisah Nyata Ibu yang Cabut Sendiri Nyawa Pembunuh Anaknya)
Sang ibu sendiri dikisahkan memiliki masa lalu yang sangat kelam, termasuk hamil saat masih remaja dan harus merelakan kedua anaknya diadopsi orang lain.
(Lika-liku Kehidupan 'Ibu Pembalasan' di Balik Kenekatannya Habisi Nyawa Klaus Grabowski)
Sementara itu pada 2022 silam, Netflix meluncurkan sebuah film berjudul "Murder in A Courtroom".
Film ini terinspirasi dari kisah seorang pria bernama Bharat Kalicharan yang dibunuh oleh 200 wanita.
Pria tersebut dihabisi secara keji, mulai dari dipukul, dilempari batu, ditusuk pisau, hingga dilumuri sambal, tepat saat akan memasuki ruang sidang.
Bukan tanpa alasan para wanita yang mengaku sebagai korban sang pria untuk main hakim sendiri.
Pria asal India tersebut terkenal selalu lolos dari jeratan hukum meski sudah melakukan hal keji kepada ratusan wanita.
Lalu, di balik kisah keberanian, untuk tidak mengatakan kekejaman, para wanita dari dua kisah nyata tersebut, apa sebenarnya yang terjadi?
Untuk menjawabnya, mari kita menyimak artikel berjudul "Memahami Fenomena Main Hakim Sendiri di Masyarakat" di ui.ac.id yang dilansir pada Minggu (22/1/2023).
Dalam artikel tersebut, perilaku main hakim sendiri bisa ditinjau melalui teori abuse of power.
Di mana dalam teori tersebut, dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki kecenderungan alamiah untuk menunjukkan dominasinya.
Mereka ingin menununjukkan kemampuannya untuk bisa menguasai orang lain.
Lalu, ketika mereka berada dalam kelompok, seperti yang terjadi dalam kasus di India, mereka yang berada di dalam kelompok merasa bahwa mereka kuat atau berkuasa, walau bisa jadi hal tersebut hanyalah ilusi semata.
Dibarengin dengan amarah yang muncul, atau sebelumnya sudah terpendam, maka keinginan untuk menunjukkan dominasi tersebut semakin besar.
Menurut artikel tersebut, teori ini dapat tergambar dengan jelas ketika ada yang meneriaki seorang maling.
Maka, massa bisa dengan mudah tersulut emosinya karena merasa teritorinya dilanggar (meski masih sebatas dugaan).
Sebuah kondisi yang bisa sangat mudah memicu seseorang atau sekelompok orang melakukan aksi makin hakim sendiri.