Nationalgeographic.co.id—Pada 259 Sebelum Masehi, Tiongkok belum terbentuk. Belum ada kekaisaran dan kaisarnya. Di kala itu, sekelompok orang saling berperang di sekitar Sungai Kuning. 29 Tahun berselang, muncul seseorang yang tampaknya biasa saja namun menjadi kaisar paling penting dalam sejarah. Ia adalah Yi Zheng yang kemudian menjadi kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Huang. Yi Zheng berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang bertikai. Tidak terkalahkan, bagaimana Qin Shi Huang Membentuk Tiongkok Bersatu?
Yi Zheng, pangeran muda yang berasal dari tempat yang keras
Ini adalah era persaingan militer yang sengit dan berdarah yang berlangsung selama lebih dari dua abad. Periode pergolakan berakhir ketika negara pemenang Qin akhirnya mampu menaklukkan enam negara saingannya. Qin menyatukan keenam negara lain di bawah satu kekuatan terpusat untuk mendirikan dinasti Qin (Ch'in). Di sinilah dari nama Tiongkok modern diambil.
Tetapi sebelum Ying Zheng bisa menjadi kaisar Tiongkok pertama, dia hanyalah seorang pangeran dari tempat tidak ramah. Wilayahnya berada di pinggiran barat kumpulan negara-negara yang berperang ini.
Negara bagian asal kaisar Tiongkok pertama Qin umumnya dianggap lebih rendah secara budaya daripada kerajaan lain. Selain agak terisolasi secara geografis, penduduknya memiliki lebih banyak kesamaan dengan suku nomaden yang mendiami wilayah hingga perbatasan baratnya. “Suku nomaden itu kerap berperang dengan Qin,” tulis Olivia Barrett di laman The Collector.
Seorang pangeran dari negara tetangga Wei pernah mencemooh Qin sebagai "tempat yang kasar dan "tidak tahu apa-apa tentang perilaku bajik".
Jadi bagaimana Ying Zheng, seorang pangeran dari wilayah yang dipandang sebelah mata, bisa menjadi kaisar pertama Tiongkok?
Ideologi Qing yang membuat Yin Zheng berhasil membentuk Tiongkok bersatu
Keberhasilan kaisar pertama Tiongkok dalam menyatukan wilayah yang bertikai berkat inti fundamental negaranya yaitu Legalisme. Ini adalah salah satu dari empat aliran utama filsafat Tiongkok di kala itu.
Sistem politik dan sosial Qin, ditambah dengan budaya kecakapan militernya, memungkinkan salah satu penguasanya menaklukkan kerajaan tetangga.
Pada saat Ying Zheng naik tahta Qin pada 246 Sebelum Masehi, Qin berubah menjadi sistem otoritarianisme yang kejam. “Sistem ini mengutamakan keberhasilan militer di atas segalanya,” kata Barrett.
Nilai-nilai ini diterapkan di Qin melalui reformasi Shang Yang, yang ideologinya terutama berpusat pada pragmatisme berdarah dingin. Shang menolak prinsip Konfusianisme tentang kebenaran, kebajikan, dan kesopanan yang disukai oleh kerajaan lain.
Satu-satunya kebajikan yang diakui adalah sentralisasi kekuasaan negara, dengan cara apa pun yang diperlukan.
Di bawah pengaruh Shang Yang, Qin mengeraskan dirinya. Bak Sparta, setiap langkahnya diperhitungkan untuk memastikan wilayah yang lebih kaya, pertanian produktif, dan tentara yang lebih kuat.
Qin memang agak kurang maju secara budaya daripada para pesaingnya. Namun kelemahan ini justru menjadi keuntungan yang krusial.
Tanpa fokus pada seni, etiket, dan kesopanan, Qin dapat berkonsentrasi untuk menjadi pusat kekuatan militer. Penghargaan dan kekuasaan diberikan atas keberhasilan militer alih-alih diwariskan.
Pangkat dan status sosial semata-mata mencerminkan kinerja militer. Dinas militer untuk masyarakat umum adalah wajib. Semua pria diharuskan untuk bertugas di ketentaraan. “Wanita juga diharapkan untuk berpartisipasi dalam perang jika kota atau kota mereka diserang,” Barrett menambahkan. Sistem militer yang unggul dan mobilisasi penduduknya tidak diragukan lagi memastikan keberhasilannya dalam mencaplok wilayah-wilayah lain.
Di Qin, satu-satunya cara untuk memerintah adalah dengan menakut-nakuti orang-orang sebangsanya agar tunduk. Dan hukuman di Qin pun sangat berat. Misalnya soal aturan: siapa pun yang gagal melaporkan aktivitas kriminal akan dipotong dua di pinggang. Begitulah kerasnya hukum Qin. Tidak akan ada belas kasihan, bahkan untuk penonton yang tidak bersalah yang gagal mengadu.
Sistem penegakan hukum yang brutal ini tampaknya berhasil. Pada abad ketiga Sebelum Masehi, orang-orang Qin tampaknya sangat taat hukum, produksi pertanian meningkat, dan perpajakan menghasilkan pendapatan besar bagi negara.
Landasan kokoh dari kohesi sosial, ekonomi, dan pertanian ini memungkinkan Qin mengembangkan militer superiornya.
Dari Yi Zheng menjadi Kaisar Qin Shi Huangdi
Pada tahun 230 Sebelum Masehi, Ying Zheng naik tahta. Selama satu dekade berikutnya, ia mengerahkan seluruh kekuatan militer Qin ke negara-negara merdeka yang tersisa.
Satu per satu, negara-negara yang bertikai jatuh di bawah kendali Qin. Bagai ulat sutera memakan daun murbei, Qin “menelan” negara bagian Han, Zhao, Wei, Yan, Chu, dan Qi. Ia mengasimilasi kerajaan dan rakyat mereka di bawah satu kerajaan bersatu dan mendirikan awal Dinasti Qin.
Pada tahun 221 Sebelum Masehi, Ying Zheng menaklukkan segalanya mulai dari pantai timur Tiongkok hingga Lintao di barat. Juga Sungai Yalu di utara hingga Pegunungan Lang di selatan. Yi Zheng bahkan menguasai wilayah yang sekarang disebut Vietnam.
Setelah menyatukan wilayah-wilayah yang bertikai, Tiongkok pun lahir. Demikian juga dengan kaisar pertama Tiongkok. Ying Zheng melepaskan nama dan gelar lamanya. Ia pun membuat gelar baru untuk dirinya sendiri: Qin Shi Huangdi. Huangdi merupakan gabungan nama penguasa mitologi kuno dari cerita rakyat Tiongkok, Huang, dengan nama orang bijak berdaulat, Di.
“Nama itu mencerminkan supremasi dan pencapaiannya yang tak tertandingi,” kata Barrett. Awalan "Qin", tentu saja, merujuk pada asalnya. Dan "Shi", yang berarti "yang pertama", memproklamasikan pendirian kekaisaran dan dinasti yang dia impikan akan bertahan selamanya.
Pembentukan bangsa
Kaisar pertama Tiongkok mengakhiri lebih dari seratus tahun persaingan militer yang sengit. Namun ternyata perjuangannya belum berhenti sampai di sana. Menyatukan dan memerintah sekelompok negara yang berbeda bukanlah tugas yang mudah.
Tantangan kaisar baru dan pendirian bangsa Tiongkok baru saja dimulai. Qin Shi Huangdi mengubah kumpulan mantan musuh menjadi satu bangsa yang bersatu. Hal ini memerlukan banyak perubahan hukum dan hierarki, inovasi dan standarisasi. Itu termasuk penerapan mata uang tunggal, pengukuran standar, dan bahasa tertulis yang umum.
Untuk lebih mengontrol wilayahnya yang luas, Qin Shi Huangdi memulai proyek raksasa untuk menciptakan jaringan jalan raya seluas kekaisaran.
Selain perlindungan, transportasi, dan komunikasi kekaisaran, jaringan jalan memfasilitasi mobilisasi cepat pasukan melawan musuh di utara dan barat. Sementara itu, Qin Shi Huangdi mengambil kesempatan untuk memperkuat perbatasan utara kekaisarannya. Ia menciptakan garis pertahanan yang mungkin paling terkenal dalam sejarah manusia: Tembok Besar Tiongkok.
Batasan, baik fisik maupun mental, juga harus dibangun dan dipertahankan. Pejabat kaisar pertama ditugaskan untuk menerapkan dan mengedarkan seperangkat hukum ketat. Menurut Barrett, “Tujuannya adalah untuk menyatukan kekaisaran dan menjaga ketertiban.”
Undang-undang ini meluas ke segala hal mulai dari keamanan properti pemerintah. Bahkan penggunaan pelumas yang tepat untuk gerobak dan gerbong pun diatur. Penyimpangan sekecil apa pun dari aturan ini dapat dihukum berat.
Sebagai kaisar pertama Tiongkok, ia tampaknya masih menerapkan kekejaman di masa lalu. Ia melakukan segala upaya agar dapat mengendalikan pikiran rakyat.
Kanselir Qin Shi Huangdi, Li Si, menasihati kaisar untuk membakar setiap dan semua buku tentang sastra. Tujuannya adalah untuk “merampas” pengetahuan rakyat dan menekan segala filosofi yang bertentangan dengan Legalisme.
Tidak heran jika banyak cendikiawan tidak menyukai kaisar baru Tiongkok itu. Mereka melontarkan kritik terhadap pemerintah pusat dan menyerukan diakhirinya tirani intelektual kekaisaran. Apakah berhasil? Tak lama kemudian, setiap kritik terhadap pemerintah dianggap ilegal dan dikenakan hukuman yang berat. Tidak kurang dari 460 sarjana melanggar hukum baru yang tidak manusiawi ini dan dikubur hidup-hidup. Semua karena mereka berani menyuarakan penentangan.
Warisan penting Qin Shi Huangdi
Meski kontroversial dan sangat kejam, Qin Shi Huangdi sangat penting untuk pembentukan Tiongkok. Tanpa bimbingan tangan besi dari kaisar Tiongkok pertama, Tiongkok yang kita kenal sekarang mungkin tidak akan pernah ada.
Baca Juga: Kehidupan Tragis Selir Dinasti Ming: Dilecehkan, Disiksa, dan Dibunuh
Baca Juga: Wei Zhongxian, Kasim Tiongkok yang Memiliki Kekuatan Setara Kaisar
Baca Juga: Kisah Kaisar Qin Shi Huang, si Pencari Keabadian yang Bernasib Tragis
Baca Juga: 8.000 Prajurit Terakota: para Penjaga Kaisar Qin Shi Huang di Akhirat
Pragmatisme kejam, lohai, dan visi tanpa henti untuk Tiongkok meletakkan dasar bagi salah satu negara paling kuat di dunia.
Kaisar pertama mewariskan warisan kekuasaan ini kepada setiap pemerintahan Tiongkok yang menggantikannya. “Baik itu kekaisaran, republik, Maois, atau pasca-Maois,” ujar Barret lagi.
Tindakannya mengarah pada prinsip yang menyatukan rakyat dan menjadikannya sebuah bangsa sejak awal. Qin Shi Huangdi menetapkan prinsip otoritas pusat di seluruh negeri. Ini adalah otoritas yang berasal dari satu sumber kontrol tunggal. Ia mengatur semua tanah rakyat Tiongkok untuk membentuk satu kesatuan yang nyata.
Meskipun Dinasti Qin sendiri berakhir hanya dalam waktu empat tahun setelah kematian Kaisar Qin Shi Huangdi, warisannya akan hidup selama lebih dari 2000 tahun. Dan bahkan terus berlanjut hingga hari ini dalam bentuk negara yang masih menyandang namanya.