Pusparagam Wasur: Rawa, Sabana, Nirwana Avifauna dan Marsupialia

By Utomo Priyambodo, Jumat, 27 Januari 2023 | 08:00 WIB
Mama Yuliana Ndiken bersama anjing kesayangannya, Lion, di atas kole-kole di Rawa Biru, Taman Nasional Wasur. Lion kini telah mati. Boleh jadi ini adalah potret terakhir Lion. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani 

La Hisa, staf Balai Taman Nasional Wasur, juga menyebut "Wasur adalah kepingan Australia yang tercecer." Bentangan alam, flora, dan fauna yang hidup di dalamnya adalah jejak ekologi purba Australis yang dapat kita lihat di Taman Nasional Wasur. Sabana Youram dan walabi adalah contoh dua hal yang tidak bisa kita lihat di wilayah Indonesia lain.

"Budaya masyarakatnya juga saya pikira tidak terlalu jauh berbeda dengan orang-orang asli Australia," tambah La Hisa. Yang menarik lagi dari Wasur adalah komunitas manusia penghuninya hidup masih sebagai masyarakat pemburu dan peramu. "Jadi sangat bergantung pada kekayaan hayati Taman Nasional Wasur," ucap Agus.

Makan mereka bergantung pada hasil penangkapan ikan dan panen gembili, sejenis umbi-umbian. Selain itu, mereka juga makan sagu.

Warga lokal Wasur sedang memburu ikan di Rawa Biru, Taman Nasional Wasur. Mereka hidup sebagai masyarakat pemburu dan peramu. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Suku-suku penjaga Wasur ini secara periodik melakukan pembakaran minimal untuk mencegah kebakaran besar akibat cuaca. Mereka melakukan pembakaran untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah ikut terbakarnya tanaman-tanaman yang jadi sumber pangan mereka.

Pohon-pohon di Wasur juga menarik karena sepertinya telah berevolusi untuk bisa tumbuh lagi setelah dibakar oleh suku-suku tersebut.

Donny Fernando, fotografer National Geographic Indonesia, menyoroti budaya masyarakat Wasur yang membuat manusia begitu intim dengan alam. Mereka punya pantangan untuk mengambil hasil alam atau panen pada waktu tertentu, tetapi juga memiliki momen-momen perayaan hasil alam.

"Waktu kami mendapat izin untuk melihat bagaimana tradisi cabut misar dilaksanakan. Perayaan ini dilakukan sejak malam hingga pagi hari," ujar Donny.

Cabut misar menandai berakhirnya sar: larangan memanfaatkan sumber daya tertentu dalam jangka waktu tertentu. Cabut misar di keluarga Vincensius Mahuze yang Donny lihat waktu itu juga menandai berakhirnya masa duka atas wafatnya sang ayah, Nicolaus Yagil Mahuze.

"Taman Nasional Wasur adalah contoh nyata pertautan antara relung ekologi dan relung budaya," simpul Agus.