Pusparagam Wasur: Rawa, Sabana, Nirwana Avifauna dan Marsupialia

By Utomo Priyambodo, Jumat, 27 Januari 2023 | 08:00 WIB
Mama Yuliana Ndiken bersama anjing kesayangannya, Lion, di atas kole-kole di Rawa Biru, Taman Nasional Wasur. Lion kini telah mati. Boleh jadi ini adalah potret terakhir Lion. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Taman Nasional Wasur mungkin tidak begitu masyhur. Namun, di sinilah keanekagaraman hayati tumbuh dan hidup subur.

Wasur adalah kerajaan bagi 80 spesies mamalia, surga bagi 403 spesies burung, 48 spesies serangga, 72 spesies ikan, 21 spesies reptil dan amfibi. Semuanya menghuni dalam bentang 14 tipe hutan di taman nasional paling timur di Indonesia ini.

National Geographic Indonesia bertandang ke Taman Nasional Wasur pada akhir Oktober sampai awal November lalu. Agus Prijono, penulis kontributor National Geographic Indonesia, menyebut bentang alam Wasur laksana kepingan alam Australia yang terpisah dari negara benua itu sehingga membuatnya berbeda dari lanskap wilayah Nusantara lainnya.

Agus yang telah mengunjungi berbagai taman nasional di Indonesia sehingga disebut juga sebagai penulis spesialis taman nasional, tak hanya menyoroti keanekaragaman hayati Taman Nasional Wasur yang berlokasi di Papua Selatan ini. Dia juga menyoroti manusia yang hidup di dalamnya dan interaksi mereka dengan alam di sana.

"Taman nasional ini, sejauh pengalaman saya, memang yang paling kelihatan interaksinya antara manusia dan alam dibandingkan taman nasional yang lain," ujar Agus dalam acara Bincang Redaksi 56 National Geographic Indonesia bertajuk Selidik Edisi Januari 2023 Pusparagam Wasur.

Di Wasur ada empat suku. Di sana ada pula istilah totem. Totem adalah gambar wajah sebagai simbolisasi atau perwujudan hubungan manusia dengan alam. Alam di sini berupa flora dan fauna.

Suku-suku di sana begitu menghormati alam dan memiliki hubungan khusus dengan buana sehingga senantiasa menjaga lingkungan mereka agar tak rusak. Mereka sadar betul bahwa alam yang rusak bakal mencelakai hidup mereka.

Agustinus Mahuze, sosok yang menggerakkan komunitas Mahuze Mandiri di Kampung Wasur. Ia berupaya menghimpun kembali filosofi dan kearifan marga di Merauke berkait etika ekologi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Wasur sering disebut sebagai lahan basah terluas di Papua," kata Agus yang menyebut wilayah ini punya rawa, sabana, dan hutan bush. Inilah perwakilan lahan basah terluas di Papua, kawasan yang tergenang selama 4-6 bulan dalam setahun, dengan waktu kunjungan terbaik Juli hingga Oktober.

Agus menyebut kawasan Taman Nasional Wasur enak dijelajahi karena memiliki topografi cenderung datar. Wilayah ini jua merupakan nirwana avifauna alias surga bangsa burung. Dan yang paling khas dari kawasan ini adalah adanya walabi, yakni sejenis marsupialia atau mamalia berkantung.

"Penanda terjelas (kawasan ini) adalah marsupialia. Yang menandai Wasur ini adalah kawasan yang terhubung secara geografis dengan Australia," papar Agus.

Baca Juga: Rawa dan Sabana Taman Nasional Wasur: Antara Surga dan Neraka

Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani 

La Hisa, staf Balai Taman Nasional Wasur, juga menyebut "Wasur adalah kepingan Australia yang tercecer." Bentangan alam, flora, dan fauna yang hidup di dalamnya adalah jejak ekologi purba Australis yang dapat kita lihat di Taman Nasional Wasur. Sabana Youram dan walabi adalah contoh dua hal yang tidak bisa kita lihat di wilayah Indonesia lain.

"Budaya masyarakatnya juga saya pikira tidak terlalu jauh berbeda dengan orang-orang asli Australia," tambah La Hisa. Yang menarik lagi dari Wasur adalah komunitas manusia penghuninya hidup masih sebagai masyarakat pemburu dan peramu. "Jadi sangat bergantung pada kekayaan hayati Taman Nasional Wasur," ucap Agus.

Makan mereka bergantung pada hasil penangkapan ikan dan panen gembili, sejenis umbi-umbian. Selain itu, mereka juga makan sagu.

Warga lokal Wasur sedang memburu ikan di Rawa Biru, Taman Nasional Wasur. Mereka hidup sebagai masyarakat pemburu dan peramu. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Suku-suku penjaga Wasur ini secara periodik melakukan pembakaran minimal untuk mencegah kebakaran besar akibat cuaca. Mereka melakukan pembakaran untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah ikut terbakarnya tanaman-tanaman yang jadi sumber pangan mereka.

Pohon-pohon di Wasur juga menarik karena sepertinya telah berevolusi untuk bisa tumbuh lagi setelah dibakar oleh suku-suku tersebut.

Donny Fernando, fotografer National Geographic Indonesia, menyoroti budaya masyarakat Wasur yang membuat manusia begitu intim dengan alam. Mereka punya pantangan untuk mengambil hasil alam atau panen pada waktu tertentu, tetapi juga memiliki momen-momen perayaan hasil alam.

"Waktu kami mendapat izin untuk melihat bagaimana tradisi cabut misar dilaksanakan. Perayaan ini dilakukan sejak malam hingga pagi hari," ujar Donny.

Cabut misar menandai berakhirnya sar: larangan memanfaatkan sumber daya tertentu dalam jangka waktu tertentu. Cabut misar di keluarga Vincensius Mahuze yang Donny lihat waktu itu juga menandai berakhirnya masa duka atas wafatnya sang ayah, Nicolaus Yagil Mahuze.

"Taman Nasional Wasur adalah contoh nyata pertautan antara relung ekologi dan relung budaya," simpul Agus.