Tibet di Tiongkok hingga Aceh di Indonesia Mau Merdeka Bukan demi Uang

By Utomo Priyambodo, Kamis, 26 Januari 2023 | 07:00 WIB
Lokasi Aceh di Indonesia. Studi menunjukkan gerakan separatisme di berbagai negara di dunia lebih dikarenakan faktor identitas, bukan ekonomi. (TUBS/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Banyak komunitas di wilayah negara tertentu yang menuntut kemerdekaan, atau hak otonomi menjadi daerah kekuasaan tersendiri atau pemerintahan mandiri. Tibet di Tiongkok hingga Aceh di Indonesia adalah dua contoh di antaranya.

Namun, apa yang paling memicu keinginan suatu daerah untuk menuntut kemerdekaan dari negaranya? Apakah uang atau pendapatan daerah sendiri? Atau lebih karena identitas?

Sebuah studi baru dari Southern Methodist University, Dallas (SMU) dan Universidad Carlos III de Madrid, Spanyol (UC3M) menemukan bahwa kelompok-kelompok identitas cenderung memainkan faktor yang lebih besar dalam pemisahan diri ini daripada perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah.

Identitas terbukti menjadi faktor yang lebih besar daripada pendapatan untuk banyak contoh kehidupan nyata dari gerakan pro-kemerdekaan dalam beberapa tahun terakhir—seperti Tibet di Tiongkok dan Tigray di Etiopia. Dalam studi baru ini, para peneliti mengamati total 173 negara dengan 3.003 wilayah subnasional, seperti Texas dan California di Amerika Serikat atau Provinsi Kanada di Quebec dan Ontario.

Model matematis yang dibuat SMU dan UC3M juga akan memprediksi dengan tepat bahwa Uni Soviet berada dalam bahaya kehancuran sebelum akhirnya runtuh pada tahun 1991 dan Republik Soviet mana yang akan menjadi yang pertama mendeklarasikan kemerdekaan.

"Apa yang kami temukan mengejutkan: separatisme akan hidup dan sehat bahkan jika tidak ada perbedaan pendapatan antardaerah, sedangkan itu (separatisme) hampir sepenuhnya mati jika semua orang berbicara bahasa yang sama," kata Klaus Desmet, profesor ekonomi di SMU yang menjadi penulis studi ini.

"Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pendorong utama sentimen separatis adalah identitas, bukan pendapatan," tegas Desmet seperti dikutip dari rilis Southern Methodist University.

Dalam studi ini, Desmet dan ekonom Ignacio Ortuño-Ortín dan Ömer Özak menggunakan model mereka untuk menguji apakah dukungan untuk pemisahan diri akan tumbuh lebih kuat atau lebih lemah jika tidak ada perbedaan pendapatan orang-orang yang tinggal di sana atau tidak ada perbedaan dalam identitas mereka. Ortuño-Ortín adalah profesor ekonomi di UC3M. Özak adalah profesor ekonomi di SMU dan peneliti di IZA.

Di seluruh dunia, mereka menemukan bahwa dukungan untuk pemisahan diri akan turun dari rata-rata 7,5 persen populasi suatu kawasan menjadi 0,6 persen tanpa adanya perbedaan identitas. Namun studi ini menemukan, menghilangkan perbedaan pendapatan hampir tidak akan menghasilkan apa-apa dalam hal melemahkan keinginan untuk pemisahan diri. Hasil studi ini telah diterbitkan oleh National Bureau of Economic Research di Cambridge, Massachusett.

Melalui studi ini, tim peneliti ingin mengidentifikasi penyebab utama pemisahan diri karena sering muncul pertanyaan apakah kebijakan ekonomi berpotensi meredakan ketegangan.

“Tentu saja, pendorong separatisme itu rumit, tetapi jika kita ingin sedikit menyederhanakan, ada dua alasan utama mengapa daerah subnasional tertentu mungkin lebih memilih untuk merdeka,” ucap Desmet.

Baca Juga: Lima Penemuan Tumbuhan Terbaik sepanjang 2022: Dari Aceh hingga Turki