Nationalgeographic.co.id—Banyak komunitas di wilayah negara tertentu yang menuntut kemerdekaan, atau hak otonomi menjadi daerah kekuasaan tersendiri atau pemerintahan mandiri. Tibet di Tiongkok hingga Aceh di Indonesia adalah dua contoh di antaranya.
Namun, apa yang paling memicu keinginan suatu daerah untuk menuntut kemerdekaan dari negaranya? Apakah uang atau pendapatan daerah sendiri? Atau lebih karena identitas?
Sebuah studi baru dari Southern Methodist University, Dallas (SMU) dan Universidad Carlos III de Madrid, Spanyol (UC3M) menemukan bahwa kelompok-kelompok identitas cenderung memainkan faktor yang lebih besar dalam pemisahan diri ini daripada perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah.
Identitas terbukti menjadi faktor yang lebih besar daripada pendapatan untuk banyak contoh kehidupan nyata dari gerakan pro-kemerdekaan dalam beberapa tahun terakhir—seperti Tibet di Tiongkok dan Tigray di Etiopia. Dalam studi baru ini, para peneliti mengamati total 173 negara dengan 3.003 wilayah subnasional, seperti Texas dan California di Amerika Serikat atau Provinsi Kanada di Quebec dan Ontario.
Model matematis yang dibuat SMU dan UC3M juga akan memprediksi dengan tepat bahwa Uni Soviet berada dalam bahaya kehancuran sebelum akhirnya runtuh pada tahun 1991 dan Republik Soviet mana yang akan menjadi yang pertama mendeklarasikan kemerdekaan.
"Apa yang kami temukan mengejutkan: separatisme akan hidup dan sehat bahkan jika tidak ada perbedaan pendapatan antardaerah, sedangkan itu (separatisme) hampir sepenuhnya mati jika semua orang berbicara bahasa yang sama," kata Klaus Desmet, profesor ekonomi di SMU yang menjadi penulis studi ini.
"Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pendorong utama sentimen separatis adalah identitas, bukan pendapatan," tegas Desmet seperti dikutip dari rilis Southern Methodist University.
Dalam studi ini, Desmet dan ekonom Ignacio Ortuño-Ortín dan Ömer Özak menggunakan model mereka untuk menguji apakah dukungan untuk pemisahan diri akan tumbuh lebih kuat atau lebih lemah jika tidak ada perbedaan pendapatan orang-orang yang tinggal di sana atau tidak ada perbedaan dalam identitas mereka. Ortuño-Ortín adalah profesor ekonomi di UC3M. Özak adalah profesor ekonomi di SMU dan peneliti di IZA.
Di seluruh dunia, mereka menemukan bahwa dukungan untuk pemisahan diri akan turun dari rata-rata 7,5 persen populasi suatu kawasan menjadi 0,6 persen tanpa adanya perbedaan identitas. Namun studi ini menemukan, menghilangkan perbedaan pendapatan hampir tidak akan menghasilkan apa-apa dalam hal melemahkan keinginan untuk pemisahan diri. Hasil studi ini telah diterbitkan oleh National Bureau of Economic Research di Cambridge, Massachusett.
Melalui studi ini, tim peneliti ingin mengidentifikasi penyebab utama pemisahan diri karena sering muncul pertanyaan apakah kebijakan ekonomi berpotensi meredakan ketegangan.
“Tentu saja, pendorong separatisme itu rumit, tetapi jika kita ingin sedikit menyederhanakan, ada dua alasan utama mengapa daerah subnasional tertentu mungkin lebih memilih untuk merdeka,” ucap Desmet.
Baca Juga: Lima Penemuan Tumbuhan Terbaik sepanjang 2022: Dari Aceh hingga Turki
Baca Juga: Papua Kisruh, Bendera Bintang Kejora Bermunculan. Freddy Numberi Bilang, 'Itu Bendera Budaya'
Baca Juga: Palestino: Histori Kemerdekaan Sepak Bola Palestina di Tanah Chili
“Yang pertama adalah pendapatan per kapita: jika daerah saya relatif kaya, saya mungkin merasa bahwa saya 'mensubsidi' seluruh negara, dan bahwa saya akan lebih baik jika daerah saya merdeka. Yang kedua adalah identitas: jika saya wilayah memiliki identitas etnis atau bahasa yang terpisah, saya mungkin merasa kurang terhubung dengan bangsa, dan lebih memilih untuk memisahkan diri," paparnya.
Desmet, Ortuño-Ortín dan Özak sangat ingin tahu tentang apa yang mendorong ketegangan separatis di dua negara asal tim. Yaitu Flanders di Belgia yang memiliki gerakan pro-kemerdekaan yang kuat dan Catalonia di Spanyol yang telah mengajukan tawaran untuk merdeka dari Spanyol beberapa tahun lalu.
"Menariknya, karena Flanders dan Catalonia relatif kaya, desakan untuk kemerdekaan telah dituangkan dalam istilah ekonomi," kata Desmet. Namun, studi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi cenderung sekunder dalam memahami pemisahan diri.
Model matematis tim peneliti berjalan pada dua pilihan. Apakah daerah subnasional memilih untuk membentuk negara mereka sendiri atau tetap tinggal di negara mereka saat ini?
Para ekonom kemudian memasukkan berbagai skenario ke dalam model tersebut—seperti jika pendapatan per kapita sama di seluruh negara atau jika semua orang menggunakan bahasa yang sama. Mereka juga melihat pendapatan dan bahasa yang digunakan di wilayah tersebut.
Bagian yang sulit adalah menentukan berapa bobot pendapatan dan identitas yang harus didapatkan dalam perhitungan model.
"Misalnya, jika kita memberi terlalu banyak bobot pada identitas linguistik, kita akan melihat terlalu banyak separatisme, dan jika kita terlalu sedikit memberi bobot pada identitas linguistik, semua orang ingin bergabung dan tetap bersama," ujar Desmet.
Untuk mengukur bagaimana model mereka cocok dengan dunia nyata, tim peneliti melihat bagaimana prediksi mereka mencerminkan perpecahan yang diketahui di seluruh dunia, seperti pembubaran Uni Soviet untuk menciptakan negara-negara berdaulat seperti Ukraina, Armenia, dan Lituania.
Model matematis mereka menghasilkan prediksi untuk stabilitas 173 negara dan 3.003 wilayah subnasional. Mereka kemudian melihat seberapa baik prediksi ini sejalan dengan gerakan separatis yang sebenarnya dan dengan stabilitas negara yang sebenarnya. Data gerakan separatis berasal dari Wikipedia. Sebanyak 2.529 titik api teridentifikasi. Desmet, Ortuño-Ortín, dan Özak juga berkonsultasi dengan negara mana yang diberi label tidak stabil dalam Indeks Negara Fragile, sebuah laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Fund for Peace yang berbasis di Washington, D.C.
"Saat melakukan 'pemeriksaan' ini, ternyata model kami bekerja dengan sangat baik," kata Desmet.
Misalnya, model tersebut—berdasarkan data dari akhir 1980-an—memprediksi bahwa Latvia, Lituania, Estonia, dan Georgia memiliki kemungkinan kuat untuk memisahkan diri dari Uni Soviet. Semua negara tersebut akhirnya menjadi yang pertama meninggalkan Uni Republik Sosialis Soviet (USSR).
Model identitas itu juga menunjukkan bahwa Tibet di China, Tigray di Etiopia, Bavaria dan Saarland di Jerman, Aceh di Indonesia, dan Lombardia serta Sardinia semuanya berpotensi ingin memisahkan diri dari negaranya. Banyak daerah subnasional yang sama itu secara teratur menjadi berita bagi gerakan pro-kemerdekaan saat ini.