Baca Juga: Sukses Kurangi Emisi dari Degradasi Lahan, Kaltim Raup Rp328 Miliar
Baca Juga: Komitmen Karbon Mengecewakan, Sekjen PBB: Dunia Menuju Kehancuran
Baca Juga: Kita Bisa Kurangi 90 Persen Emisi Karbon pada 2050. Bagaimana Caranya?
"Produksi baja nol-emisi dimungkinkan pada tahun 2050, tetapi dalam jumlah dan kualitas yang terbatas dibandingkan dengan total produksi saat ini. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan sumber daya yang kompatibel dengan nol-emisi dan praktik daur ulang baja bekas," kata Dr. Watari.
Dr. Watari menyimpulkan bahwa kita memang perlu berinvestasi dalam inovasi teknologi, tetapi kita tidak bisa begitu saja menunggunya muncul. Sebaliknya, pengguna baja perlu bersiap untuk dunia di mana baja yang tersedia lebih sedikit.
"Kami tidak menyangkal perlunya berinvestasi dalam teknologi produksi yang inovatif. Sebaliknya, yang ingin kami soroti adalah bahwa kami harus mencari opsi yang jauh lebih strategis, sebagai gantinya hanya mengandalkan teknologi produksi 'peluru perak',” kata Dr. Watari.
“Menempatkan efisiensi bahan dan daur ulang di jantung rencana dekarbonisasi dapat mengurangi ketergantungan berlebihan pada teknologi produksi inovatif dan mempersiapkan diri untuk risiko bahwa teknologi ini mungkin tidak dapat ditingkatkan secara memadai pada waktunya."
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan anggaran karbon nol emisi, produksi barang-barang baja akan sangat dibatasi dibandingkan dengan saat ini, paling banter mencapai sekitar setengah dari tingkat saat ini. Dalam hal ini, tentu saja produksi baja berkualitas lebih tinggi (misalnya, baja lembaran) akan sangat terpukul.
Sebagai masyarakat, mungkin juga harus mengurangi ketergantungan pada baja dan beralih ke model 'penggunaan jasa' daripada kepemilikan produk.