Nationalgeographic.co.id - Baja adalah salah satu bahan terpenting di dunia. Ia menjadi bagian integral dari mobil yang kita kendarai, bangunan yang kita huni, dan infrastruktur yang memungkinkan kita melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sayangnya, baja juga bertanggung jawab atas 7% emisi gas rumah kaca global. Pada tahun 2021, 45 negara membuat komitmen untuk mengejar baja beremisi mendekati nol dalam dekade berikutnya. Akan tetapi bagaimana mungkin menghasilkan baja yang kita butuhkan di masyarakat dengan nol emisi?
Studi baru berfokus pada industri baja Jepang telah diterbitkan di jurnal Nature Sustainability pada 5 Januari 2023 bertajuk “Limited quantity and quality of steel supply in a zero-emission future.”
Dalam studi ini, menunjukkan bahwa jika kita benar-benar berkomitmen untuk mencapai emisi nol, kita harus bersiap menghadapi skenario jumlah baja yang dapat kita produksi lebih rendah. Jepang telah menetapkan target pengurangan emisi dari baja sebesar 46% pada tahun 2030, dan nol emisi pada tahun 2050.
Sejauh ini, peta jalan untuk mencapai hal ini sangat bergantung pada inovasi teknologi di masa depan. Harapan terbentang untuk pengembangan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) dan teknologi berbasis hidrogen.
Dalam studi tersebut, Dr. Takuma Watari, seorang peneliti di National Institute for Environmental Studies, Jepang, yang saat ini bekerja dengan University of Cambridge, berpendapat bahwa tidak ada ‘peluru perak’.
Dia mengatakan bahwa rencana saat ini untuk mengurangi emisi karbon meremehkan betapa sulitnya untuk mengembangkan teknologi CCS dan hidrogen dan menyebarkannya secara luas.
"Teknologi ini masih menghadapi tantangan teknis, ekonomi, dan sosial yang serius, dan belum diterapkan dalam skala besar. Dan yang terpenting, sangat tidak pasti apakah akan ada cukup listrik tanpa emisi untuk menggunakan teknologi ini," tuturnya.
Kita perlu menghadapi kemungkinan bahwa inovasi teknologi mungkin belum siap pada waktunya untuk memungkinkan kita mempertahankan tingkat produksi baja saat ini sembari memangkas emisi hingga nol.
Penelitian ini melibatkan pemetaan aliran baja saat ini di industri Jepang dan menggunakan model untuk mengeksplorasi bagaimana industri dapat berubah jika anggaran karbon yang ketat diterapkan di masa depan.
Dr. Watari menjelaskan bahwa dengan praktik saat ini, kuantitas dan kualitas baja yang diproduksi akan menurun drastis di bawah anggaran nol emisi karbon. Ini karena kurangnya sumber daya dan praktik daur ulang, di mana sisa-sisa baja yang mengandung kotoran digunakan untuk membuat produk baru. Sulit untuk menghilangkan kotoran ini, sehingga produk baru memiliki kualitas dan fungsi yang berbeda dari baja asli.
Baca Juga: Sukses Kurangi Emisi dari Degradasi Lahan, Kaltim Raup Rp328 Miliar
Baca Juga: Komitmen Karbon Mengecewakan, Sekjen PBB: Dunia Menuju Kehancuran
Baca Juga: Kita Bisa Kurangi 90 Persen Emisi Karbon pada 2050. Bagaimana Caranya?
"Produksi baja nol-emisi dimungkinkan pada tahun 2050, tetapi dalam jumlah dan kualitas yang terbatas dibandingkan dengan total produksi saat ini. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan sumber daya yang kompatibel dengan nol-emisi dan praktik daur ulang baja bekas," kata Dr. Watari.
Dr. Watari menyimpulkan bahwa kita memang perlu berinvestasi dalam inovasi teknologi, tetapi kita tidak bisa begitu saja menunggunya muncul. Sebaliknya, pengguna baja perlu bersiap untuk dunia di mana baja yang tersedia lebih sedikit.
"Kami tidak menyangkal perlunya berinvestasi dalam teknologi produksi yang inovatif. Sebaliknya, yang ingin kami soroti adalah bahwa kami harus mencari opsi yang jauh lebih strategis, sebagai gantinya hanya mengandalkan teknologi produksi 'peluru perak',” kata Dr. Watari.
“Menempatkan efisiensi bahan dan daur ulang di jantung rencana dekarbonisasi dapat mengurangi ketergantungan berlebihan pada teknologi produksi inovatif dan mempersiapkan diri untuk risiko bahwa teknologi ini mungkin tidak dapat ditingkatkan secara memadai pada waktunya."
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan anggaran karbon nol emisi, produksi barang-barang baja akan sangat dibatasi dibandingkan dengan saat ini, paling banter mencapai sekitar setengah dari tingkat saat ini. Dalam hal ini, tentu saja produksi baja berkualitas lebih tinggi (misalnya, baja lembaran) akan sangat terpukul.
Sebagai masyarakat, mungkin juga harus mengurangi ketergantungan pada baja dan beralih ke model 'penggunaan jasa' daripada kepemilikan produk.