Nationalgeographic.co.id—Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939) sebagaimana gubahan Buya Hamka, tidak hanya berbicara cinta dua sejoli, Zainudin dan Hayati. Kabar karamnya kapal raksasa itu adalah kisah nyata yang memilukan.
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda) menginvestigasi kasus karamnya kapal uap mewah yang berlayar dari Surabaya pada tahun 1936.
Melansir De Soematra Post terbitan 26 April 1937 berjudul De Scheepsramp bij Oedjoeng Pakis, seorang koresponden mengisahkan kembali tentang kepiluan yang terjadi dalam musibah yang menimpa kapal Van der Wijck.
Kapal uap buatan tahun 1921 di Rotterdam ini berukuran sangat besar dan menjadi kapal mewah kala itu. Kapal ini mulai diberangkatkan dari Pelabuhan Tandjoeng Perak di Surabaya pada tanggal 19 Oktober 1936 pukul 9 malam.
Hingga menjelang dini hari, kapal Van der Wijck masih berkirim radar ke pangkalan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (K.P.M.) melalui lampu morse. Dari sana, kapal Van der Wijck dinyatakan masih aman dan berada dalam jangkauan.
Kabar mengejutkan secara mendadak diterima oleh Komandan K.P.M. di Batavia, K.M. Willems melalui telegraf. Pesannya berisi tentang sinyal S.O.S yang dikirim dari kapal Van der Wijck pada tanggal 20 Oktober, sekitar pukul 1 dini hari.
Kopral Willems mendapat informasi terkait lokasi karamnya kapal pada pukul 2.42 dini hari. Diketahui bahwa Van der Wijck karam di kawasan Laut Brondong di perairan Lamongan. Lantas, ia mengirimkan informasi menuju Soerabaia-Radio.
Mengingat jarak tempuhnya Van der Wijck yang belum jauh, Willems meminta bantuan segera dari Surabaya menuju Lamongan.
Setelah mendapat informasi tersebut, Panglima Marinir Angkatan Laut Hindia Belanda di Surabaya segera memberikan perintah penyiapan kapal dan pesawat yang tersedia untuk melakukan evakuasi secepatnya.
Pada 20 Oktober 1936, jam 4 pagi yang gelap, pesawat pertama dari Surabaya mulai lepas landas untuk misi kemanusiaan. Setelah mencapai lokasi, di saat fajar mulai menyingsing, kapal Van der Wijck sudah tak kelihatan wujudnya.
"Dimungkinkan bagian utama kapal telah karam lebih dahulu," imbuh koresponden De Soematra Post. Sebaliknya, yang terlihat adalah para korban yang berupaya mengapung dengan berpegang pada kayu atau material kapal yang bisa mengambang.
Dari proses evakuasi, tim penyelamat telah meyakini publik di Surabaya melalui Soerabaia-Radio yang memberitakan karamnya kapal Van der Wijck. Beritanya tersebar luas pada pukul 07.15 waktu Hindia Belanda.
Beruntungnya, akibat cuaca yang baik dan angin laut yang stabil, banyak korban yang masih mampu menyelamatkan diri. Dari sini juga, para nelayan di Pantai Brondong Lamongan turut membantu mengevakuasi para korban.
Laporan tentang kecelakaan ini bahkan sampai ke Eropa. Angkatan Laut Kerajaan Belanda segera menyalurkan beritanya kepada sang ratu Wilhelmina hingga menyebutnya sebagai bencana nasional di Hindia Belanda.
Pada 21 Oktober 1936, seluruh dunia mengetahui tentang kabar karamnya kapal Van der Wijck. Seorang jurnalis bahkan menyebut dengan istilahnya: "seperti menjumpa guntur di siang hari yang penuh terik cerah," saat mendengar musibah itu.
Baca Juga: 'Ditemukannya' Kapal Van der Wijck yang Hilang Selama 85 Tahun
Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita
Baca Juga: Surat Cinta dari Titanic Ini Ungkap Insiden Sebelum Kapal Tenggelam
Baca Juga: Tenggelamnya Kapal van Imhoff yang Mengangkut Simpatisan Nazi
Akibat kejadian itu, De Soematra Post menyebut jumlah korban yang tediri dari 140 awak kapal, dan dari 119 penumpang di dalamnya 55 orang dinyatakan hilang yang semuanya diperkirakan tewas dalam bencana tersebut.
Dalam versi lain, penumpang yang berhasil diselamatkan berjumlah 153 orang. Sementara sekitar 70 orang, baik penumpang maupun awak kapal, telah dilaporkan hilang. Dimungkinkan laporan ini dibuat setelah hasil evakuasi sepenuhnya ditutup.
Masih menjadi misteri tentang alasan karamnya kapal. Namun, De Soematra Post mengklaim adanya kemiringan berat yang tidak berimbang membuat gempuran ombak menenggelamkan kapal mewah itu.
Dalam roman gubahan Hamka, di momen inilah Zainudin kehilangan cinta sejatinya, Hayati yang tewas sebagai korban tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Meskipun kisah cintanya fiktif, tapi Hamka telah berhasil menggambarkan kepiluan atas tragedi nyata ini.