Seberapa Kaya Kekaisaran Tiongkok hingga Membuat Eropa 'Kesal'?

By Sysilia Tanhati, Senin, 30 Januari 2023 | 16:08 WIB
Selama berabad-abad, Tiongkok kuno adalah kekaisaran terkaya di dunia. Kekayaan dan perdagangannya bahkan membuat Eropa kesal. (William Alexander)

Orang-orang Eropa secara efektif dapat terlibat dalam suatu bentuk arbitrase. Perak dari Dunia Baru relatif murah untuk diproduksi dan tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Selain itu, banyak pekerjaan penambangan dilakukan oleh para budak. Untungnya lagi, perak memiliki harga dua kali lipat lebih tinggi jika dijual di Tiongkok alih-alih di Eropa.

Permintaan perak yang sangat besar di Tiongkok disebabkan oleh kebijakan moneter Dinasti Ming. Kekaisaran telah bereksperimen dengan uang kertas dari abad ke-11 tetapi skema ini gagal karena hiperinflasi pada abad ke-15. Akibatnya, Dinasti Ming beralih ke mata uang berbasis perak pada tahun 1425. Ini jadi alasan permintaan yang sangat besar dan nilai yang meningkat dari perak di Kekaisaran Tiongkok.

Sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi ini dan periode stabilitas politik yang panjang, Kekaisaran Tiongkok tumbuh dan berkembang pesat. “Bahkan dalam banyak hal mirip dengan Eropa,” tutur Newman.

Selama periode 1683 – 1839, yang dikenal sebagai Era Qing Tinggi, populasi meningkat lebih dari dua kali lipat. Dari 180 juta pada tahun 1749 menjadi 432 juta pada tahun 1851. Kondisi ini didukung oleh perdamaian yang panjang dan masuknya tanaman Dunia Baru seperti kentang, jagung, dan kacang.

Pendidikan diperluas dan literasi meningkat baik pada pria maupun wanita. Perdagangan dalam negeri juga berkembang pesat selama periode ini. Ini ditandai dengan munculnya pasar di kota-kota yang berkembang pesat. Kelas komersial atau pedagang mulai tumbuh, mengisi bagian tengah masyarakat antara kaum tani dan elite.

Sama seperti di Eropa, para pedagang kaya baru ini pun menunjukkan kekayaannya dengan karya seni. Lukisan dipertukarkan dan dikumpulkan, dan literatur serta teater berkembang pesat.

Ketegangan antara Eropa dan Kekaisaran Cina

Penurunan ekonomi Kekaisaran Tiongkok dimulai pada awal 1800-an. Kerajaan Eropa menjadi semakin tidak senang dengan defisit perdagangan dengan Tiongkok dan jumlah perak yang mereka keluarkan.

Oleh karena itu, orang Eropa mulai mencoba mengubah perdagangan Tiongkok. Mereka mencari hubungan komersial berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Di bawah rezim seperti itu mereka akan dapat mengekspor lebih banyak barang mereka sendiri ke Tiongkok. Ini tentu saja mengurangi kebutuhan untuk membayar dengan perak dalam jumlah besar.

Konsep perdagangan bebas tidak dapat diterima oleh orang Tiongkok. Pedagang Eropa yang ada di Tiongkok tidak diizinkan memasuki wilayah kekaisaran kecuali pelabuhan Kanton (sekarang Guangzhou). Di pelabuhan itu, barang dibongkar ke gudang yang dikenal sebagai Tiga Belas Pabrik sebelum diteruskan ke perantara Tiongkok.

Dalam upaya untuk membangun sistem perdagangan bebas ini, Inggris mengirim George Macartney sebagai utusan ke Tiongkok pada bulan September 1792. Misinya adalah untuk memungkinkan pedagang Inggris beroperasi lebih bebas di kekaisaran, di luar sistem Kanton. Setelah hampir satu tahun berlayar, misi dagang tiba di Beijing pada tanggal 21 Agustus 1792. Dia melakukan perjalanan ke utara untuk menemui Kaisar Qianlong.

Sayangnya untuk Inggris, Macartney dan Kaisar tidak dapat menemukan kesepakatan. Kaisar dengan tegas menolak gagasan perdagangan bebas dengan Inggris. Dalam sepucuk surat kepada Raja George III, Qianlong menyatakan bahwa Tiongkok memiliki segala sesuatu dalam kelimpahan yang subur. Kekaisaran tidak kekurangan produk di dalam perbatasannya sendiri serta tidak perlu mengimpor pabrik orang barbar dari luar.