Seberapa Kaya Kekaisaran Tiongkok hingga Membuat Eropa 'Kesal'?

By Sysilia Tanhati, Senin, 30 Januari 2023 | 16:08 WIB
Selama berabad-abad, Tiongkok kuno adalah kekaisaran terkaya di dunia. Kekayaan dan perdagangannya bahkan membuat Eropa kesal. (William Alexander)

Candu dan kemunduran ekonomi Kekaisaran Tiongkok

Dengan ketidakmungkinan perdagangan bebas, para pedagang Eropa mencari pengganti perak dalam perdagangan Tiongkok. Solusi ini ditemukan dalam pasokan opium. The East India Company mulai mengimpor opium yang diproduksi di India ke Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1730-an.

Opium digunakan sebagai obat dan kesenangan di Tiongkok selama berabad-abad, namun akhirnya dilarang pada tahun 1799. Setelah larangan ini, The East India Company terus mengimpor opium, menjualnya ke pedagang asli Tiongkok. Pedagang Tiongkok kemudian mendistribusikannya ke seluruh negeri.

The East India Company mulai mengimpor opium yang diproduksi di India ke Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1730-an. (Lai Afong)

Perdagangan opium sangat menguntungkan sehingga pada tahun 1804, defisit perdagangan yang begitu mencemaskan Inggris berubah menjadi surplus. Sekarang, aliran perak dibalik. Perak yang diterima sebagai pembayaran opium mengalir dari Tiongkok ke Inggris melalui India. Inggris bukan satu-satunya kerajaan barat yang memasuki perdagangan opium. Amerika Serikat mengirimkan opium dari Turki dan menguasai 10% perdagangan pada tahun 1810.

Pada tahun 1830-an, opium makin menjamur di Tiongkok. Merokok candu adalah kegiatan rekreasi yang umum di kalangan cendekiawan dan pejabat. Aktivitas ini menyebar ke seluruh kota. Bahkan candu atau opium menjadi simbol kekayaan, status, dan kehidupan yang santai bagi kelas pedagang.

Kaisar berusaha untuk mengekang kecanduan nasional. Pasalnya, pekerja yang merokok opium kurang produktif dan arus keluar perak sangat memprihatinkan. Sayangnya semua upaya yang dilakukan tidak berhasil.

Tahun 1839, Kaisar Daoguang mengeluarkan dekrit yang melarang impor opium dari luar negeri. Seorang pejabat kekaisaran, Komisaris Lin Zexu, menyita dan menghancurkan 20.000 peti opium Inggris (bernilai sekitar dua juta pound) di Kanton pada bulan Juni.

Perang Candu dan penurunan Kekaisaran Tiongkok

Penghancuran opium digunakan oleh Inggris untuk melancarkan Perang Candu. Pertempuran laut antara Kapal Perang Inggris dan Tiongkok dimulai pada November 1839. HMS Volage dan HMS Hyacinth mengalahkan 29 kapal Tiongkok saat mengevakuasi warga Inggris dari Kanton.

Pasukan angkatan laut yang besar dikirim dari Inggris, tiba pada bulan Juni 1840. Angkatan Laut Kerajaan dan Angkatan Darat Inggris jauh mengalahkan Tiongkok dalam hal teknologi dan pelatihan.

Pasukan Inggris merebut benteng yang menjaga muara Sungai Pearl dan bergerak maju di sepanjang jalur air. Mereka berhasil merebut Kanton pada Mei 1841. Lebih jauh ke Utara, benteng Amoy dan Pelabuhan Chapu direbut. Pertempuran terakhir yang menentukan terjadi pada bulan Juni 1842 ketika Inggris merebut kota Chinkiang.

Dengan kemenangan dalam Perang Candu, Inggris mampu memaksakan perdagangan bebas—termasuk candu—pada orang Tiongkok. Pada 17 Agustus 1842, Perjanjian Nanking ditandatangani. Hong Kong diserahkan ke Inggris dan lima Pelabuhan Perjanjian dibuka untuk perdagangan bebas. Pelabuhan itu antara lain Kanton, Amoy, Foochow, Shanghai, dan Ningpo.

Orang Tiongkok juga berkomitmen untuk membayar ganti rugi sebesar $21 juta. Kemenangan Inggris menunjukkan kelemahan Kekaisaran Tiongkok dibandingkan dengan kekuatan tempur barat yang modern. Di tahun-tahun mendatang, Prancis dan Amerika juga memberlakukan perjanjian serupa pada Tiongkok.

Perjanjian Nanking memulai apa yang dikenal di Tiongkok sebagai "Abad Penghinaan". Itu adalah yang pertama dari banyak "Perjanjian Tidak Setara" yang ditandatangani dengan kerajaan Eropa, Kekaisaran Rusia, Amerika Serikat, dan Jepang. Tiongkok masih merupakan kekaisaran yang merdeka, tetapi kekuatan asing memiliki pengaruh besar atas semuan urusannya. Sebagian besar Shanghai, misalnya, diserahkan kepada Penyelesaian Internasional. Sehingga bisnis dan administrasinya ditangani oleh kekuatan asing.

Pada tahun 1856, Perang Candu Kedua pecah, yang berakhir empat tahun kemudian dengan kemenangan Inggris dan Prancis. “Hasilnya adalah penjarahan ibu kota Kekaisaran Tiongkok, Beijing, dan pembukaan sepuluh Pelabuhan Perjanjian lagi,” Newman menambahkan.

Pengaruh dominasi asing ini terhadap perekonomian Tiongkok sangat besar dan sangat kontras dengan perekonomian Eropa Barat, khususnya Inggris Raya. Pada tahun 1820, sebelum Perang Candu, Tiongkok menguasai lebih dari 30% perekonomian dunia. Pada tahun 1870 angka ini turun menjadi lebih dari 10% dan saat pecahnya Perang Dunia II hanya 7%.

Ketika pangsa PDB Tiongkok anjlok, Eropa Barat melonjak—sebuah fenomena yang dijuluki “The Great Divergence” oleh sejarawan ekonomi—mencapai 35%.

Kerajaan Inggris, penerima manfaat utama dari Kekaisaran Tiongkok, menjadi entitas global terkaya.  Inggris bahkan menyumbang 50% dari PDB global pada tahun 1870. Berkat opium, Inggris bahkan menggeser posisi Kekaisaran Tiongkok dalam hal kekuatan ekonomi.