Seberapa Kaya Kekaisaran Tiongkok hingga Membuat Eropa 'Kesal'?

By Sysilia Tanhati, Senin, 30 Januari 2023 | 16:08 WIB
Selama berabad-abad, Tiongkok kuno adalah kekaisaran terkaya di dunia. Kekayaan dan perdagangannya bahkan membuat Eropa kesal. (William Alexander)

Nationalgeographic.co.id—Tiongkok di zaman modern adalah salah satu negara adidaya ekonomi. Pandangan barat Tiongkok kini adalah modern, berteknologi tinggi, dan maju. Semuan ini sangat kontras dengan citra yang dimiliki Kekaisaran Tiongkok di masa lalu. Kekaisaran Tiongkok dipandang sebagai kekaisaran yang perlahan “membusuk” dan mengalami penurunan setelah bertemu dengan dunia barat. Namun sebenarnya, selama berabad-abad, Tiongkok kuno adalah kekaisaran terkaya di dunia. Bahkan setelah menjalin hubungan dengan barat, Kekaisaran Tiongkok memegang posisi penting dalam jaringan perdagangan global. Kekayaan dan sumber daya Tiongkok kuno sempat membuat kerajaan di Eropa kesal. Seberapa kaya sebenarnya Kekaisaran Tiongkok di masa lalu?

Demam Tiongkok kuno di Eropa

Sebelum abad ke-17, Tiongkok kuno memiliki perekonomian terbesar dan bersaing dengan India untuk memperebutkan gelar itu.

Kecenderungan ini berlanjut setelah Era Eksplorasi, di mana kerajaan-kerajaan Eropa berlayar ke timur. Perluasan kerajaan membawa manfaat besar bagi orang Eropa. Tetapi, kontak komersial dengan barat juga meningkatkan dominasi Tiongkok atas ekonomi global selama dua ratus tahun ke depan.

Ketertarikan barat pada kekayaan yang baru ditemukan di timur terbukti sangat menguntungkan bagi Kekaisaran Tiongkok. Orang Eropa menyukai barang-barang Tiongkok seperti sutra dan porselen. “Barang-barang itu diproduksi dan diekspor ke barat,” tulis James Newman di The Collector.

Belakangan, teh juga menjadi barang ekspor yang berharga. Itu terbukti sangat populer di Inggris Raya, dengan toko teh pertama di London didirikan pada tahun 1657.

Awalnya barang-barang Tiongkok kuno sangat mahal dan hanya tersedia untuk kalangan elite saja. Namun, sejak abad ke-18, harga banyak dari barang-barang ini turun. Porselen misalnya dapat diakses oleh kelas pedagang yang baru muncul di Inggris. Dan teh menjadi minuman untuk semua orang, baik kaya maupun miskin.

Ada juga obsesi terhadap gaya Tiongkok. Chinoiserie menyapu benua dan memengaruhi arsitektur, desain interior, dan hortikultura. Itu adalah gaya yang terinspirasi oleh seni dan desain dari Tiongkok, Jepang, dan negara Asia lainnya pada abad ke-18.

Kekaisaran Tiongkok dipandang sebagai masyarakat yang canggih dan intelektual. Hal yang sama seperti bagaimana Yunani dan Romawi kuno di mata kerajaan lain.

Mendekorasi rumah dengan furnitur atau kertas dinding impor Tiongkok adalah cara kelas pedagang mendapat uang. Ini adalah cara menunjukkan kekayaan dan kesuksesan seseorang.

Kekaisaran Tiongkok dan perdagangan perak

Untuk membayar barang-barang Tiongkok, Eropa beralih ke koloni mereka di Dunia Baru. Awal perdagangan Tiongkok pada tahun 1600-an dimulai, Spanyol menaklukkan Amerika.

Orang-orang Eropa secara efektif dapat terlibat dalam suatu bentuk arbitrase. Perak dari Dunia Baru relatif murah untuk diproduksi dan tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Selain itu, banyak pekerjaan penambangan dilakukan oleh para budak. Untungnya lagi, perak memiliki harga dua kali lipat lebih tinggi jika dijual di Tiongkok alih-alih di Eropa.

Permintaan perak yang sangat besar di Tiongkok disebabkan oleh kebijakan moneter Dinasti Ming. Kekaisaran telah bereksperimen dengan uang kertas dari abad ke-11 tetapi skema ini gagal karena hiperinflasi pada abad ke-15. Akibatnya, Dinasti Ming beralih ke mata uang berbasis perak pada tahun 1425. Ini jadi alasan permintaan yang sangat besar dan nilai yang meningkat dari perak di Kekaisaran Tiongkok.

Sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi ini dan periode stabilitas politik yang panjang, Kekaisaran Tiongkok tumbuh dan berkembang pesat. “Bahkan dalam banyak hal mirip dengan Eropa,” tutur Newman.

Selama periode 1683 – 1839, yang dikenal sebagai Era Qing Tinggi, populasi meningkat lebih dari dua kali lipat. Dari 180 juta pada tahun 1749 menjadi 432 juta pada tahun 1851. Kondisi ini didukung oleh perdamaian yang panjang dan masuknya tanaman Dunia Baru seperti kentang, jagung, dan kacang.

Pendidikan diperluas dan literasi meningkat baik pada pria maupun wanita. Perdagangan dalam negeri juga berkembang pesat selama periode ini. Ini ditandai dengan munculnya pasar di kota-kota yang berkembang pesat. Kelas komersial atau pedagang mulai tumbuh, mengisi bagian tengah masyarakat antara kaum tani dan elite.

Sama seperti di Eropa, para pedagang kaya baru ini pun menunjukkan kekayaannya dengan karya seni. Lukisan dipertukarkan dan dikumpulkan, dan literatur serta teater berkembang pesat.

Ketegangan antara Eropa dan Kekaisaran Cina

Penurunan ekonomi Kekaisaran Tiongkok dimulai pada awal 1800-an. Kerajaan Eropa menjadi semakin tidak senang dengan defisit perdagangan dengan Tiongkok dan jumlah perak yang mereka keluarkan.

Oleh karena itu, orang Eropa mulai mencoba mengubah perdagangan Tiongkok. Mereka mencari hubungan komersial berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Di bawah rezim seperti itu mereka akan dapat mengekspor lebih banyak barang mereka sendiri ke Tiongkok. Ini tentu saja mengurangi kebutuhan untuk membayar dengan perak dalam jumlah besar.

Konsep perdagangan bebas tidak dapat diterima oleh orang Tiongkok. Pedagang Eropa yang ada di Tiongkok tidak diizinkan memasuki wilayah kekaisaran kecuali pelabuhan Kanton (sekarang Guangzhou). Di pelabuhan itu, barang dibongkar ke gudang yang dikenal sebagai Tiga Belas Pabrik sebelum diteruskan ke perantara Tiongkok.

Dalam upaya untuk membangun sistem perdagangan bebas ini, Inggris mengirim George Macartney sebagai utusan ke Tiongkok pada bulan September 1792. Misinya adalah untuk memungkinkan pedagang Inggris beroperasi lebih bebas di kekaisaran, di luar sistem Kanton. Setelah hampir satu tahun berlayar, misi dagang tiba di Beijing pada tanggal 21 Agustus 1792. Dia melakukan perjalanan ke utara untuk menemui Kaisar Qianlong.

Sayangnya untuk Inggris, Macartney dan Kaisar tidak dapat menemukan kesepakatan. Kaisar dengan tegas menolak gagasan perdagangan bebas dengan Inggris. Dalam sepucuk surat kepada Raja George III, Qianlong menyatakan bahwa Tiongkok memiliki segala sesuatu dalam kelimpahan yang subur. Kekaisaran tidak kekurangan produk di dalam perbatasannya sendiri serta tidak perlu mengimpor pabrik orang barbar dari luar.

Candu dan kemunduran ekonomi Kekaisaran Tiongkok

Dengan ketidakmungkinan perdagangan bebas, para pedagang Eropa mencari pengganti perak dalam perdagangan Tiongkok. Solusi ini ditemukan dalam pasokan opium. The East India Company mulai mengimpor opium yang diproduksi di India ke Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1730-an.

Opium digunakan sebagai obat dan kesenangan di Tiongkok selama berabad-abad, namun akhirnya dilarang pada tahun 1799. Setelah larangan ini, The East India Company terus mengimpor opium, menjualnya ke pedagang asli Tiongkok. Pedagang Tiongkok kemudian mendistribusikannya ke seluruh negeri.

The East India Company mulai mengimpor opium yang diproduksi di India ke Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1730-an. (Lai Afong)

Perdagangan opium sangat menguntungkan sehingga pada tahun 1804, defisit perdagangan yang begitu mencemaskan Inggris berubah menjadi surplus. Sekarang, aliran perak dibalik. Perak yang diterima sebagai pembayaran opium mengalir dari Tiongkok ke Inggris melalui India. Inggris bukan satu-satunya kerajaan barat yang memasuki perdagangan opium. Amerika Serikat mengirimkan opium dari Turki dan menguasai 10% perdagangan pada tahun 1810.

Pada tahun 1830-an, opium makin menjamur di Tiongkok. Merokok candu adalah kegiatan rekreasi yang umum di kalangan cendekiawan dan pejabat. Aktivitas ini menyebar ke seluruh kota. Bahkan candu atau opium menjadi simbol kekayaan, status, dan kehidupan yang santai bagi kelas pedagang.

Kaisar berusaha untuk mengekang kecanduan nasional. Pasalnya, pekerja yang merokok opium kurang produktif dan arus keluar perak sangat memprihatinkan. Sayangnya semua upaya yang dilakukan tidak berhasil.

Tahun 1839, Kaisar Daoguang mengeluarkan dekrit yang melarang impor opium dari luar negeri. Seorang pejabat kekaisaran, Komisaris Lin Zexu, menyita dan menghancurkan 20.000 peti opium Inggris (bernilai sekitar dua juta pound) di Kanton pada bulan Juni.

Perang Candu dan penurunan Kekaisaran Tiongkok

Penghancuran opium digunakan oleh Inggris untuk melancarkan Perang Candu. Pertempuran laut antara Kapal Perang Inggris dan Tiongkok dimulai pada November 1839. HMS Volage dan HMS Hyacinth mengalahkan 29 kapal Tiongkok saat mengevakuasi warga Inggris dari Kanton.

Pasukan angkatan laut yang besar dikirim dari Inggris, tiba pada bulan Juni 1840. Angkatan Laut Kerajaan dan Angkatan Darat Inggris jauh mengalahkan Tiongkok dalam hal teknologi dan pelatihan.

Pasukan Inggris merebut benteng yang menjaga muara Sungai Pearl dan bergerak maju di sepanjang jalur air. Mereka berhasil merebut Kanton pada Mei 1841. Lebih jauh ke Utara, benteng Amoy dan Pelabuhan Chapu direbut. Pertempuran terakhir yang menentukan terjadi pada bulan Juni 1842 ketika Inggris merebut kota Chinkiang.

Dengan kemenangan dalam Perang Candu, Inggris mampu memaksakan perdagangan bebas—termasuk candu—pada orang Tiongkok. Pada 17 Agustus 1842, Perjanjian Nanking ditandatangani. Hong Kong diserahkan ke Inggris dan lima Pelabuhan Perjanjian dibuka untuk perdagangan bebas. Pelabuhan itu antara lain Kanton, Amoy, Foochow, Shanghai, dan Ningpo.

Orang Tiongkok juga berkomitmen untuk membayar ganti rugi sebesar $21 juta. Kemenangan Inggris menunjukkan kelemahan Kekaisaran Tiongkok dibandingkan dengan kekuatan tempur barat yang modern. Di tahun-tahun mendatang, Prancis dan Amerika juga memberlakukan perjanjian serupa pada Tiongkok.

Perjanjian Nanking memulai apa yang dikenal di Tiongkok sebagai "Abad Penghinaan". Itu adalah yang pertama dari banyak "Perjanjian Tidak Setara" yang ditandatangani dengan kerajaan Eropa, Kekaisaran Rusia, Amerika Serikat, dan Jepang. Tiongkok masih merupakan kekaisaran yang merdeka, tetapi kekuatan asing memiliki pengaruh besar atas semuan urusannya. Sebagian besar Shanghai, misalnya, diserahkan kepada Penyelesaian Internasional. Sehingga bisnis dan administrasinya ditangani oleh kekuatan asing.

Pada tahun 1856, Perang Candu Kedua pecah, yang berakhir empat tahun kemudian dengan kemenangan Inggris dan Prancis. “Hasilnya adalah penjarahan ibu kota Kekaisaran Tiongkok, Beijing, dan pembukaan sepuluh Pelabuhan Perjanjian lagi,” Newman menambahkan.

Pengaruh dominasi asing ini terhadap perekonomian Tiongkok sangat besar dan sangat kontras dengan perekonomian Eropa Barat, khususnya Inggris Raya. Pada tahun 1820, sebelum Perang Candu, Tiongkok menguasai lebih dari 30% perekonomian dunia. Pada tahun 1870 angka ini turun menjadi lebih dari 10% dan saat pecahnya Perang Dunia II hanya 7%.

Ketika pangsa PDB Tiongkok anjlok, Eropa Barat melonjak—sebuah fenomena yang dijuluki “The Great Divergence” oleh sejarawan ekonomi—mencapai 35%.

Kerajaan Inggris, penerima manfaat utama dari Kekaisaran Tiongkok, menjadi entitas global terkaya.  Inggris bahkan menyumbang 50% dari PDB global pada tahun 1870. Berkat opium, Inggris bahkan menggeser posisi Kekaisaran Tiongkok dalam hal kekuatan ekonomi.