Separuh ART Migran Indonesia di Negara Arab Pernah Alami Situasi Kejam

By Utomo Priyambodo, Rabu, 1 Februari 2023 | 16:30 WIB
Asisten rumah tangga atau pekerja rumah tangga migran di Kuwait City. Lebih dari 50% pekerja rumah tangga migran di negara-negara Teluk Arabia pernah mengalami situasi kejam. (Lisa Blaydes)

Nationalgeographic.co.id—Belum lama ini dunia dihebohkan oleh Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar. Di balik kemegahan gelaran kompetisi sepak bola terakbar sedunia itu, ternyata ada perlakuan kejam terhadap para pekerja konstruksi migran di Qatar.

Ternyata tak hanya di sektor konstruksi, para pekerja migran yang bekerja di rumah tangga di Timur Tengah ternyata juga kerap mengalami perlakuan tak adil dan tak mengenakkan. Sebuah studi baru yang digarap oleh Lisa Blaydes, profesor ilmu politik di Stanford University, menyoroti nasib para pekerja rumah tangga migran di Teluk Arabia.

Teluk Arabia adalah sebutan untuk wilayah dari tujuh negara Arab yang berbatasan dengan Teluk Persia. Ketujuh negara tersebut adalah Kuwait, Bahrain, Irak, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).

Blaydes membeberkan populasi pekerja migran di wilayah Teluk Arabia yang mungkin lebih rentan terhadap eksploitasi ketimbang pekerja konstruksi migran. Mereka antara lain adalah para perempuan yang memasak, membersihkan, dan merawat keluarga sebagai pekerja rumah tangga di rumah pribadi.

Orang-orang biasanya menyebut mereka sebagai asisten rumah tangga (ART). Atau disebut juga sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja rumah tangga.

Makalah studi Blaydes yang membahas hal itu berjudul "Assessing the Labor Conditions of Migrant Domestic Workers in the Arab Gulf States". Makalah ini telah diterbitkan pada Januari 2023 sebagai bagian dari isu khusus ILR Review tentang transformasi tenaga kerja dan transisi rezim di Timur Tengah dan Afrika Utara.

"Ada begitu banyak perhatian yang diberikan kepada pekerja konstruksi," kata Blaydes, peneliti di Stanford King Center on Global Development, seperti dikutip dari laman Stanford University.

"Ketika Anda pergi ke Teluk, Anda melihat mereka berjalan-jalan dengan pakaian oranye mereka. Para pekerja rumah tangga adalah populasi yang tidak terlihat. Para wanita ini bekerja di rumah dan bahkan mungkin tidak terlalu sering meninggalkan rumah itu."

Blaydes telah melakukan survei awal terhadap beberapa ratus pekerja rumah tangga migran Filipina dan Indonesia yang sebelumnya bekerja di negara-negara Teluk Arabia, tetapi telah kembali ke negara asalnya. Lebih dari 50% responden itu menunjukkan bahwa mereka telah mengalami setidaknya satu jenis situasi yang kejam.

Perlakukan kejam atau tak mengenakkan yang paling umum mereka terima bersifat ekonomi, seperti jam kerja yang berlebihan, pembayaran yang terlambat, dan penolakan hari libur.

Sebagian perempuan pekerja rumah tangga miran itu bahkan melaporkan bahwa mereka mengalami akses terbatas ke makanan (12%), pengurungan paksa (7%), gaji tidak dibayar (7%), penolakan perawatan medis (6%), kekerasan fisik (4%), dan pelecehan seksual (2%).

Menurut perkiraan yang disusun oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2019, terdapat jutaan pekerja rumah tangga migran di negara-negara Teluk Arabia. Arab Saudi sendiri memiliki lebih dari 3 juta ART migran.

Jadi, persentase responden ini mewakili jumlah perempuan yang sangat besar. Sebab, sebagian besar pekerja rumah tangga adalah perempuan.

"Ini mempengaruhi begitu banyak orang," kata Blaydes. "Globalisasi pekerjaan perawatan sangat umum. Jika kita ingin memahami pengalaman kerja banyak perempuan di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga adalah bagian besar dari itu."

Blaydes, yang menghabiskan waktu masa kecilnya di Arab Saudi, adalah anggota senior di Freeman Spogli Institute dan direktur Sohaib and Sara Abbasi Program dalam Islamic Studies di Stanford University.

Penelitian Blaydes berfokus pada isu-isu sosial, ekonomi, dan politik di Timur Tengah. Baru-baru ini, dia mengalihkan perhatiannya ke negara-negara Teluk Arabia yang mayoritas pekerjanya adalah migran dan tempat perempuan paling sering memikul beban mengurus rumah dan merawat keluarga.

Baca Juga: Kisah Adu Nasib Para Pekerja Migran Gelap Indonesia di Belanda

Baca Juga: Ketika Invasi Romawi ke Jazirah Arab Berakhir dengan Bencana Kolosal

Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim yang Kian Nyata: Menghijaunya Tanah Arab Saudi 

Karena negara-negara Teluk memprioritaskan pembangunan ekonomi, termasuk dengan mendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah, Blaydes memutuskan untuk mempelajari pengalaman orang-orang yang akan mengisi kekosongan dalam rumah tangga yang ditinggalkan perempuan Arab: perempuan migran.

Kemampuan perempuan Arab untuk menerima dan tetap bekerja "hampir bergantung" pada kehadiran perempuan migran yang bekerja di dalam rumah mereka, kata Blaydes.

"Ada kecenderungan untuk tidak memikirkan pekerja rumah tangga sebagai tenaga kerja," katanya. Namun, "untuk memahami masalah yang berkaitan dengan gender dan tenaga kerja dan ekonomi, tidak masuk akal untuk mengecualikan populasi ini."

Untuk penelitiannya, Blaydes merancang survei online asli perempuan di Indonesia dan Filipina. Keduanya adalah dua negara yang mengirim banyak perempuan untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga di negara-negara Teluk Arabia.

Pada akhirnya, 656 perempuan menyelesaikan survei, setelah menjawab pertanyaan saringan untuk menentukan apakah mereka pernah bekerja di kawasan Teluk Arabia sebagai pekerja rumah tangga. Dibandingkan dengan negara-negara Teluk Arabia lainnya, Qatar memiliki laporan pelecehan paling sedikit per rumah tangga, sedangkan Bahrain memiliki yang tertinggi.

Untuk analisisnya, Blaydes mengatur rumah tangga tempat perempuan bekerja menjadi tiga kelompok. Kelas 1 ditandai dengan kemungkinan pelecehan secara keseluruhan yang relatif rendah.

Kelas 2 ditandai dengan kemungkinan penyalahgunaan ekonomi yang tinggi. Adapun Kelas 3 ditandai dengan adanya kekerasan ekonomi dan beberapa bentuk kekerasan fisik.

Blaydes menemukan bahwa kemungkinan kekerasan meningkat dalam keluarga dengan jumlah anak yang lebih banyak atau ketika sang suami menghidupi rumah tangga kedua baik karena perceraian atau karena ia memiliki istri kedua.

Informasi dari analisis ini dapat membantu, katanya, karena pemerintah dan pembuat kebijakan mencoba mengatasi masalah pelecehan pekerja rumah tangga migran, yang diperburuk oleh sistem sponsor kafala yang digunakan di sebagian besar negara Teluk Arabia.

Di bawah sistem kafala, pekerja hanya dapat bekerja dengan sponsor majikan mereka selama masa kontrak mereka, biasanya dua tahun. Jika majikan melanggar kontrak, visa pekerja dibatalkan, dan mereka segera dipulangkan.

Hal ini memberi majikan kekuatan yang luar biasa atas pekerja, yang mungkin tidak melaporkan pelecehan atau kekerasan karena takut akan pembalasan.

Beberapa upaya reformasi sudah berjalan. Blaydes menunjuk pada contoh Uni Emirat Arab, yang pada tahun 2011 mulai mengizinkan pekerja migran untuk menerima pekerjaan baru tanpa persetujuan dari majikan mereka sebelumnya. Menurut ILO, Qatar juga memberlakukan reformasi serupa pada tahun 2020.

Blaydes mengatakan studinya dapat memastikan bahwa intervensi di masa depan untuk mencegah pelecehan terhadap pekerja rumah tangga migran—termasuk pelatihan, diskusi, dan bahkan bantuan langsung dari pemerintah negara tujuan—dirancang untuk efek maksimum.