Kepemilikan Kayu Jati Menentukan Status Sosial Masyarakat Jawa

By Galih Pranata, Kamis, 2 Februari 2023 | 11:00 WIB
Rumah joglo di Yogyakarta sekitar tahun 1908 dengan jati sebagai bahan dasar fondasinya. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah rumah makan berkonsep joglo yang dipenuhi pintu di bagian dindingnya telah memikat mata. Seorang rekan pengajar, Mukhlis Sidiq Harmanto telah memandu saya untuk melihat fenomena sosial unik di Jawa.

Menurut Mukhlis, orang (Jawa) terdahulu memandang status sosialnya di masyarakat berdasarkan kepemilikan kayu jati sebagai bagian dari arsitektur yang lekat dalam rumahnya.

Sebagaimana disebut oleh Muhammad Zamroni dalam Gelar: Jurnal Seni Budaya berjudul Jati Jawa kontribusi kayu jati bagi masyarakat Jawa (2014) menyebut bahwa Masyarakat Jawa memandang siapapun yang dapat memanfaatkan dan memiliki produk turunan dari kayu jati, memiliki status sosial yang tinggi.

"Kayu jati terkenal sebagai kayu yang cukup mahal harganya. Hal ini disebabkan karena keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam kayu jati, tidak dimiliki oleh kayu-kayu yang lain," tambahnya.

Selain karena harganya yang mahal dan bernilai prestis, kayu jati merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh dengan baik dan dapat diambil manfaatnya.

Kayu jati memiliki arti penting dalam pembangunan rumah tradisional Jawa. Selain kualitas kayu jati yang awet dan mudah pengerjaannya, penggunaan kayu jati tersebut berdasar pada mitos nyai jati sari kaki jati sari.

"Penggunaan kayu jati dalam membangun rumah tradisional Jawa adalah wujud kejujuran masyarakat Jawa atas keinginannya membangun rumah," terusnya. Maka dari itu, priyayi Jawa menggambarkan kayu jati sebagai wujud kejujuran dan keluhuran.

Nilai jualnya juga tinggi, utamanya sejak era kolonial Belanda berkuasa. Pemerintah kolonial melihat adanya potensi besar pada penjualan tectona grandis (pohon jati Blora berukuran besar).

Melihat hal tersebut, pemerintah kolonial menetapkan status hutan Randoeblatoeng di Blora sebagai woud afdeeling (hutan kabupaten) berstatus houtvesterijen (hutan milik Belanda).

Dari sana, pemerintah kolonial secara bebas menjual produk jati ke Eropa dengan harga mahal. Dapat dikatakan bahwa "Afdeeling Blora adalah salah satu daerah utama penghasil kayu jati berkualitas terbaik di Indonesia," tulis Ade Rosalina.

Ia menulis dalam skripsinya berjudul Analisis dan Pengaruh Komoditas Ekspor Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Blora, yang dipublikasi oleh Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, pada tahun 2017.

Pohon jati besar (Tectona grandis) yang didorong oleh Gerakan Samin untuk dimanfaatkan penduduk Blora sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. (Wikimedia Commons)