Nationalgeographic.co.id—Sebuah rumah makan berkonsep joglo yang dipenuhi pintu di bagian dindingnya telah memikat mata. Seorang rekan pengajar, Mukhlis Sidiq Harmanto telah memandu saya untuk melihat fenomena sosial unik di Jawa.
Menurut Mukhlis, orang (Jawa) terdahulu memandang status sosialnya di masyarakat berdasarkan kepemilikan kayu jati sebagai bagian dari arsitektur yang lekat dalam rumahnya.
Sebagaimana disebut oleh Muhammad Zamroni dalam Gelar: Jurnal Seni Budaya berjudul Jati Jawa kontribusi kayu jati bagi masyarakat Jawa (2014) menyebut bahwa Masyarakat Jawa memandang siapapun yang dapat memanfaatkan dan memiliki produk turunan dari kayu jati, memiliki status sosial yang tinggi.
"Kayu jati terkenal sebagai kayu yang cukup mahal harganya. Hal ini disebabkan karena keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam kayu jati, tidak dimiliki oleh kayu-kayu yang lain," tambahnya.
Selain karena harganya yang mahal dan bernilai prestis, kayu jati merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh dengan baik dan dapat diambil manfaatnya.
Kayu jati memiliki arti penting dalam pembangunan rumah tradisional Jawa. Selain kualitas kayu jati yang awet dan mudah pengerjaannya, penggunaan kayu jati tersebut berdasar pada mitos nyai jati sari kaki jati sari.
"Penggunaan kayu jati dalam membangun rumah tradisional Jawa adalah wujud kejujuran masyarakat Jawa atas keinginannya membangun rumah," terusnya. Maka dari itu, priyayi Jawa menggambarkan kayu jati sebagai wujud kejujuran dan keluhuran.
Nilai jualnya juga tinggi, utamanya sejak era kolonial Belanda berkuasa. Pemerintah kolonial melihat adanya potensi besar pada penjualan tectona grandis (pohon jati Blora berukuran besar).
Melihat hal tersebut, pemerintah kolonial menetapkan status hutan Randoeblatoeng di Blora sebagai woud afdeeling (hutan kabupaten) berstatus houtvesterijen (hutan milik Belanda).
Dari sana, pemerintah kolonial secara bebas menjual produk jati ke Eropa dengan harga mahal. Dapat dikatakan bahwa "Afdeeling Blora adalah salah satu daerah utama penghasil kayu jati berkualitas terbaik di Indonesia," tulis Ade Rosalina.
Ia menulis dalam skripsinya berjudul Analisis dan Pengaruh Komoditas Ekspor Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Blora, yang dipublikasi oleh Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, pada tahun 2017.
Bangsa Eropa turut mengakui bahwa kualitas kayu jati yang dihasilkan dari Jawa adalah yang terbaik kala itu. Tak heran, bagian bangunan keraton selalu lekat dengan elemen jati di dalamnya.
Seni arsitektur bangunan milik para bangsawan Jawa yang terpandang tak lepas dari keberadaan kayu jati. Seperti halnya juga bangunan-bangunan penting bagi penyebaran Islam di Jawa seperti halnya Masjid Demak, disangga oleh kekarnya jati.
Pendopo-pendopo dalam kraton Jawa juga menggunakan kayu jati sebagai bahan dasarnya. Seperti yang terdapat dalam bagian-bagian sakral pada keraton Kasunanan Surakarta dan keraton Kasultanan Yogyakarta.
Dalam Serat Centhini yang disusun oleh Pakubuwono V, Ia menggambarkan bahwa kayu jati memiliki watak atau sifat yang dapat mempengaruhi penghuninya. Kayu jati adalah kayu yang berkualitas, maka sudah semestinya digunakan untuk sesuatu yang berkualitas atau bermakna pula.
Tidak perlu menunjukkan bahwa sang Sultan memiliki kekayaan emas dalam singgasananya, hanya dengan keberadaan kayu jati saja ia sudah memiliki pengaruh dan status sosial yang penting dalam masyarakat Jawa.
Nilai sakral yang dimilikinya tidak hanya membuat jati sebagai komoditas prestis, namun juga bernilai sakral. Alhasil, hanya kalangan berstatus sosial tertentu yang sanggup membeli dan menggunakannya.