Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman adalah kekuatan besar multi-etnis yang bertahan selama lebih dari enam ratus tahun. Pada puncaknya, wilayah mencakup seberang Mediterania, Laut Adriatik, dan Laut Merah dan bahkan menjangkau Teluk Persia. Namun secara perlahan, kekuatan Kekaisaran Ottoman menurun dan menyebabkan pengaruhnya melemah. Salah satunya adalah ketika Kekaisaran Ottoman tersingkir dari Eropa.
Revolusi di Ottoman membuka celah bagi negara Balkan untuk memberontak
Balkan dan wilayah Eropa tenggara telah lama diperebutkan karena populasi etnis mereka yang beragam. “Mayoritas masyarakat Kristen hidup di bawah Kekaisaran Ottoman Muslim,” tulis Turner Collins di laman The Collector.
Pertikaian makin aktif ketika di abad ke-19 kekuatan Ottoman semakin melemah. Selama berabad-abad, Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah dipandang sedang mengalami kemunduran dan sering disebut sebagai “Pesakitan Eropa”.
Ottoman terjebak di antara kekuatan eksternal yang ingin lepas dan kelompok internal yang ingin menentukan nasib sendiri.
Tindakan dua kelompok, negara-negara Balkan dan, ironisnya, penduduk Kekaisaran Ottoman, akhirnya mendorong Balkan masuk ke dalam perang.
Sejumlah negara Balkan memperoleh kedaulatan penuh atau otonomi di wilayah tersebut melalui serangkaian pemberontakan yang dikenal sebagai “Krisis Timur Besar” tahun 1875-1878. Saat itu, sejumlah daerah memberontak dan, dengan bantuan Rusia, memaksa Ottoman untuk menyerah dan mengakui kemerdekaan banyak negara-negara ini.
Selain itu, ada gerakan yang meningkat di dalam Kesultanan Utsmaniyah sendiri, yang dikenal sebagai Turki Muda. Pada tahun 1876, Sultan Abdul Hamid II diyakinkan untuk mengizinkan Kesultanan Utsmaniyah bertransisi menjadi monarki konstitusional. Namun Abdul segera beralih kembali ke pemerintahan yang brutal dan otoriter.
“Gerakan Turki Muda memiliki tujuan agar pemerintahan sultan diakhiri,” kata Collins. Berkat Revolusi Turki Muda, Sultan Abdul Hamid II akhirnya disingkirkan dari kekuasaan. Segera setelah revolusi, gerakan Turki Muda terpecah menjadi dua faksi: liberal dan terdesentralisasi serta sangat nasionalis dan sayap kanan jauh.
Hal ini mengakibatkan situasi genting bagi militer Ottoman. Sebelum revolusi, Sultan melarang operasi pelatihan militer besar-besaran karena takut kudeta dari angkatan bersenjatanya. Dengan tersingkirnya penguasa otoriter, korps perwira mendapati dirinya terbagi dan dipolitisasi. Pembagian tersebut menyebabkan perwira Ottoman sering berselisih dengan sesama prajuritnya, membuat kepemimpinan tentara menjadi sulit. Revolusi ini menempatkan kekaisaran dalam situasi berbahaya dan rakyat Balkan dapat melihatnya.
Politik kekuatan besar dan jalan menuju perang
Ketika Ottoman mengalami masalah internal dan makin melemah, negara-negara Balkan dan Eropa mulai bersiap menghadapi perang. Peristiwa ini membuat beberapa kerajaan Eropa ikut campur untuk meningkatkan kekuasaan dan memperluas wilayah.