Seperti Apa Aturan, Terpidana, dan Hukuman di Kekaisaran Tiongkok?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 9 Februari 2023 | 16:00 WIB
Hukum dan hukuman adalah cara untuk menyelaraskan masyarakat di Kekaisaran Tiongkok. Seperti apa aturan, hukuman, dan terpidana di zaman Kekaisaran Tiongkok? (academic.ru)

Nationalgeographic.co.id—Tiongkok adalah peradaban tertua di dunia yang masih ada hingga saat ini yang memiliki sejarah mengagumkan. Bagian dari kesuksesan jangka panjang Tiongkok adalah usahanya untuk menyelaraskan masyarakatnya dengan cara apa saja. Salah satunya adalah dengan hukuman. Seperti apa aturan, hukuman, dan terpidana di zaman Kekaisaran Tiongkok?

Tahanan mendapatkan penyiksaan secara teratur

Prinsip hukum penting di Kekaisaran Tiongkok adalah agar seorang tertuduh bisa dihukum, ia harus mengakui kesalahannya. "Bila seseorang tidak mengakui suatu kesalahan yang dituduhkan, maka bebas dari hukuman," tulis Stephen J. Schuyler di laman Grunge.

Journal of Southeast Asian Studies mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan pengakuan, pihak berwenang diperbolehkan untuk menggunakan penyiksaan. Namun, sebelum penyiksaan dimulai, pelaku dapat secara sukarela mengakui bahwa mereka melakukan kejahatan tersebut. Jika demikian, maka sudah tertanam dalam kode hukum bahwa hukuman itu harus dikurangi.

Sistem peradilan pidana dipengaruhi oleh Konfusianisme dan Legalisme

Menurut Britannica, undang-undang kekaisaran pertama dari Kekaisaran Tiongkok terpusat muncul ketika Kaisar Qin Shi Huang mendirikan pemerintahan otokratis.

Pemerintahan Dinasti Qin berpegang pada filosofi yang dikenal sebagai Legalisme. Aliran pemikiran ini percaya bahwa manusia pada dasarnya jahat. Logikanya adalah untuk menciptakan masyarakat yang harmonis di mana yang lemah dilindungi, hukum harus sederhana, brutal, dan efektif.

Pendiri Legalisme, Han Feizi, menulis, "Penguasa harus memiliki kekuatan, memegangnya seperti kilat atau guntur." Hukum sangat kejam dan narapidana yang dihukum menjadi sasaran penyiksaan, kerja paksa, atau eksekusi.

Dinasti Han kemudian mengubah hukum pidana berdasarkan prinsip Konfusianisme, tetapi masih sangat dipengaruhi oleh Legalisme.

Tahanan di Tiongkok kuno menjadi sasaran salah satu dari 'Lima Hukuman'

Kekaisaran Tiongkok menerapkan sistem hukuman terhadap tahanan yang disebut wu hsing yang diterjemahkan menjadi "Lima Hukuman". Hukuman mana yang akan ditanggung oleh terpidana itu bergantung pada jenis kesalahannya.

Sebelum dinasti Qin, lima hukuman itu adalah: tato, amputasi hidung, amputasi satu atau kedua kaki, pengebirian, dan kematian. "Tetapi jenis hukumannya kemudian berevolusi," kata Schuyler. Pada masa Dinasti Sui (581-618 Masehi), ada pemukulan dengan tongkat ringan, pemukulan dengan tongkat berat, kerja paksa, pengasingan, dan kematian dengan cara dicekik atau dipenggal.

Agar tertuduh mau mengaku, pihak berwenang boleh melakukan penyiksaan. (George Henry Mason)

Dalam setiap hukuman ada derajat yang berbeda tergantung pada kesalahannya. Misalnya, seorang narapidana yang dihukum dipukuli dengan tongkat ringan dapat dijatuhi hukuman hingga lima derajat yang menentukan berapa banyak pukulan yang akan dilakukan (antara 10 sampai 50).

Adapun eksekusi, pemenggalan kepala dianggap lebih buruk daripada pencekikan. Pasalnya, pemenggalan dianggap menghina tubuh yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Ini adalah cara yang lebih memalukan untuk mati.

Kejahatan terburuk di Tiongkok kuno adalah tidak mematuhi orang tua

Hukum pidana Tiongkok Kuno menekankan bakti dalam lima hubungan utama. Itu adalah bagaimana orang harus bersikap terhadap penguasa, orang tua, pasangan, saudara kandung, dan teman mereka.

Semua itu memiliki konsekuensi bagi narapidana. Pasalnya, orang yang melakukan jenis kejahatan yang sama akan diperlakukan berbeda tergantung pada apakah mereka melakukannya kepada seseorang yang lebih muda, lebih tua, suami atau ayah mereka.

Misalnya, narapidana yang melakukan kejahatan terhadap orang yang lebih tua akan dikenakan hukuman yang lebih buruk. Bandingkan dengan mereka melakukan kejahatan yang sama kepada orang yang lebih muda, hukumannya tidak seburuk yang satunya.

Bahkan ketika seorang anak menyerahkan orang tuanya yang bersalah, anak tersebut ikut dihukum karena melanggar bakti.

Tiongkok kuno menyiksa tahanan dan saksi untuk mendapatkan pengakuan

Di Tiongkok kuno, seluruh proses investigasi dan peradilan sangat ketat. Saksi dan terdakwa akan bersujud di hadapan seorang pejabat selama seluruh persidangan.

Schuyler menambahkan, "Terdakwa akan ditanyai pertanyaan yang sengaja diarahkan agar ia mengaku." Jika para tahanan mulai menghindari pertanyaan, pihak berwenang menyiksa. Pada tahap ini bentuk penyiksaan sangat sederhana dan langsung. Lengan tahanan atau saksi yang tidak kooperatif dipelintir pada sebuah tiang. Mereka kemudian dipukuli terus menerus selama mereka menyatakan tidak bersalah.

Sistem penyiksaan bekerja untuk mengumpulkan bukti lebih cepat, menyelesaikan kasus, dan memotong biaya investigasi. Akibatnya, bagi penyidik, penyiksaan dianggap sebagai bagian penting dari proses penyidikan.

Penjahat terpidana di Tiongkok kuno jarang benar-benar masuk penjara

Hukum pidana di Kekaisaran Tiongkok sebagian besar didasarkan pada bentuk hukuman fisik atau hukuman mati. Meskipun ada penjara, dalam banyak kasus, narapidana dihukum secara fisik atas kejahatan mereka.

Ini berarti bahwa tahanan dapat dieksekusi atau disiksa tergantung pada beratnya kejahatan. "Sebagian besar hukuman itu kejam dan tidak biasa," tambah Schuyler lagi. Pencambukan di depan umum adalah hukuman normal. Kandang, alat yang pengunci leher, atau mengikatkan batu ke leher juga menjadi salah satu bentuk hukuman.

Mati akibat seribu tebasan adalah hukuman terburuk bagi seorang tahanan

Lima Hukuman terus berkembang menjadi cara yang cukup mengerikan untuk menghukum para tahanan.

Ling chi, yang dikenal sebagai "kematian dengan seribu tebasan" dimulai sejak abad ke-10. Ling chi dianggap sebagai hukuman terburuk bagi setiap tahanan. Nasib ini menimpa mereka yang hanya bersalah atas kejahatan tertinggi di negeri yang dikenal sebagai "Sepuluh Kekejian". Ini termasuk pengkhianatan, mutilasi, pembunuhan ayah, pembunuhan suami, pemberontakan, dan sihir.

Ling chi biasanya terdiri dari delapan irisan pada tubuh (meski bisa lebih). Irisan biasanya dimulai pada wajah diikuti oleh tangan, kaki, dada, dan perut. Potongan terakhir adalah jantung atau pemenggalan kepala.

Seorang pengamat Inggris menulis: "Hukuman ini ... dijatuhkan bukan sebagai siksaan, tetapi untuk menghancurkan masa depan serta kehidupan pelaku saat ini. Dia tidak layak untuk hidup lebih lama baik sebagai manusia atau roh yang dapat dikenali."

Ling chi akhirnya dilarang pada tahun 1905.

Eksekusi tidak dilakukan di musim semi atau musim panas

Tahanan di Tiongkok kuno tunduk pada prinsip filosofis yang memandu keyakinan spiritual masyarakat. Ini berarti bahwa beberapa tindakan seputar hukuman adalah hal yang tabu. Prinsip-prinsip Taois harmoni alam dicampur dengan ideologi Konfusianisme. Idenya adalah bahwa manusia dan alam sangat terikat satu sama lain sehingga seseorang harus bertindak selaras dengannya.

Jadi apa artinya ini bagi para tahanan? Musim semi dan musim panas dipandang sebagai periode pembaharuan dan pertumbuhan. Sedangkan musim gugur dan musim dingin dipandang sebagai kebalikannya. Eksekusi, yang merupakan cara untuk menghancurkan kehidupan, hanya dapat dilakukan di musim gugur atau musim dingin.

Jika eksekusi terjadi di musim yang salah, itu akan membuat tatanan alam tidak seimbang. Selama Dinasti Han, misalnya, tidak ada keputusan serius yang dijatuhkan setelah musim semi dimulai.

Baca Juga: Mengapa Arkeolog Enggan Membuka Makam Kaisar Pertama Tiongkok?

Baca Juga: Tidak Terkalahkan, Kaisar Qin Shi Huangdi Membentuk Tiongkok Bersatu

Baca Juga: 8.000 Prajurit Terakota: para Penjaga Kaisar Qin Shi Huang di Akhirat

Baca Juga: Alih-alih Hidup Kekal, Kaisar Qin Tewas karena Ramuannya Sendiri

Dinasti Tang memiliki eksekusi paling banyak, kecuali pada hari hujan, malam hari, dan selama fase bulan tertentu. Selain itu, bulan dan hari raya tertentu dalam penanggalan Buddha juga melarang eksekusi.

Sebelum dinasti Qin, perbudakan dan eksekusi tampaknya menjadi nasib paling populer bagi tawanan perang.

Menurut Journal of Anthropological Archaeology, tawanan perang dieksekusi sebagai bagian dari ritual pengurbanan selama periode itu. Nyatanya, terkadang penggerebekan sengaja dilakukan untuk mengumpulkan kurban. Wanita ditangkan dan dijadikan selir para perwira pemenang.

Selain itu, Historical Origins of International Criminal Law menegaskan bahwa tahanan di Tiongkok 6.000 tahun yang lalu bahkan mungkin dimakan selama masa kelaparan. Praktik pengurbanan manusia dan kanibalisme ini menghilang jauh sebelum terbentuknya Kekaisaran Tiongkok. Perlakuan terhadap tawanan perang agak membaik setelah berdirinya Kekaisaran Tiongkok.

Seperangkat aturan dan hukum dibuat agar kehidupan selaras di Kekaisaran Tiongkok. Bila melanggarnya, hukuman berat bahkan memalukan sudah menanti.