Oleh Agni Malagina, Program Studi Cina FIB-UI
Nationalgeographic.co.id—Kita tentu mengenal istilah "tea time" di Inggris, kebiasaan minum teh bersama kudapan manis pada sore hari. Barangkali, sebagian dari kita juga mengenal upacara minum teh yang sohor di Jepang.
Teh juga telah menjadi bagian penting dalam kehidupan budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka menggunakan teh dalam upacara sembahyang kepada Tuhan Allah, Toapekong, dan roh leluhur. Teh juga hadir dalam pelbagai upacara perayaan hari besar, seperti Imlek dan perkawinan dalam tradisi Tionghoa, ciotau—baik di Indonesia maupun Tiongkok.
Dalam mitologi Tiongkok, teh merupakan lambang kesuburan. Karenanya, upacara teh pai (茶拜 cha bai), tidak hanya bermakna penghormatan mempelai pengantin kepada keluarga besar, tetapi juga membawa pengharapan agar mempelai segera dikaruniai keturunan.
Bagimanakah kisah perjalanan sejarah minuman teh?
Teh dan serba-serbinya terekam dalam sebuah kitab klasik Tiongkok yang berjudul Cha Jing (茶经) karya Lu Yü yang ditulis sekitar 760-780 pada masa pemerintahan Kaisar Tiongkok dari Dinasti Tang (618-907). Sang penulis kitab itu menjelaskan mengenai pelbagai jenis tanaman teh, bagaimana cara mengolahnya menjadi minuman, cara menghidangkannya, serta cara membudidayakan tanaman tersebut .
Teh sebagai obat-obatan pun terekam dalam catatan khusus mengenai rempah dan tanaman obat-obatan Tiongkok yang berjudul Bencao Gangmu (本草纲目) yang ditulis oleh Li Shi Zhen pada 1552-1578.
Kata “teh” berasal dari kata “tè” dalam bahasa daerah Fujian, salah satu subetnis Tiongkok yang banyak bermigrasi ke Indonesia adalah etnis Hokkian yang juga membawa kata tersebut dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Tak heran kita mengenal kata “teko” atau tempat air teh/ketel. Juga, beberapa istilah yang kerap ditemui di pecinan: “tesi” sendok teh, “teliao” manisan yang dihidangkan bersama teh untuk pemujaan leluhur, dan “te ao” cangkir.
Kata “tè” dalam bahasa Hokkian pun menyebar ke seantero dunia, maka dikenalah “thé” dalam Bahasa Prancis, “té” dalam Bahasa Spanyol, “tè” dalam bahasa Itali, “tee” dalam bahasa Jerman, “thee” dalam bahasa Belanda dan “tea” dalam bahasa Inggris.
Namun, di daerah Tiongkok Utara, teh dikenal dengan kata “chá” (茶). Tampaknya hal ini mempengaruhi ucapan kata teh dalam bahasa Rusia yaitu “chai” dan dalam bahasa Portugal ‘chá’.
Dari mana asal tanaman teh pun masih diperdebatkan. Teh memang banyak tumbuh di daerai Fujian, Guangdong, dan Zhejiang. Tanaman ini diduga datang dari daerah India Utara pada abad ke-6 serta telah menjadi minuman di seantero Negeri Tiongkok pada abad ke-9.
Joh. H. Plath menyebutkan bahwa teh ditanam di Tiongkok selatan, dibawa masuk ke Tiongkok oleh biarawan Buddha. Para biarawan itu memerlukan teh sebagai minuman penguat stamina lantaran mereka dituntut untuk berdoa terus-menerus tanpa tidur panjang.
Seorang ahli botani asal Belanda, Ir. J. H. van Emden menyebutkan bahwa pohon teh berasal dari daratan benua Asia yang berada di daerah antara garis lintang utara 25-35 derajat dan garis bujur antara 90-105 derajat, tepatnya di daerah Thailand, Vietnam, juga di sekitar aliran Sungai Yang Zi di Tiongkok, Sungai Mekong Vietnam, Sungai Irawaddy di India.
Baca Juga: Benarkah Teh Jadi Penyebab Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris?
Baca Juga: Upaya Inggris Mematahkan Monopoli Teh oleh Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Rutin Minum Teh atau Kopi Melindungi Wanita dari Patah Tulang Panggul
Baca Juga: Keluarga Kerkhoven dan Bosscha, Dinasti Teh Belanda di Priangan
Pada umumnya minuman teh dibagi dalam beberapa jenis. Teh hijau (lü cha 录茶), teh merah (hong cha 红茶), teh wulung/oloong (wu long cha 无龙), dan teh bunga (hua cha 花茶).
Tak heran pada masa Dinasti Tang, teh pun menyebar ke pelbagai tempat di dunia melalui jalur sutera. Pada 1636, VOC mulai mengangkut teh dari Tiongkok ke Batavia dan Eropa. Bahkan sejak 1664, British East India Company mulai membeli teh dari negeri tersebut.
Di Indonesia, teh pun bukan barang baru dalam menu kuliner. Sebagian orang Indonesia menganggapnya sebagai minuman kebanggaan atau bahkan sekedar minuman pendorong santapan. Kegandrungan akan teh ini telah membuat teh menjelma dalam pelbagai kemasan dan rasa hasil modifikasi.
Awalnya orang harus berpayah-payah memetik daun teh dan mengolahnya. Namun, kini setiap saat minuman teh bisa dinikmati dari balik lemari pendingin sebuah minimarket atau kotak penjual aneka minuman kemasan di tepian jalan.