Kasim dan Misteri Yoghurt yang Hampir Mengakhiri Kekaisaran Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Jumat, 24 Februari 2023 | 09:00 WIB
Pada bulan November 1908, pembunuhan keji dilakukan terhadap Kaisar Guangxu, kaisar kedua terakhir di Kekaisaran Tiongkok. (Wikipedia)

Jadi, siapa pembunuhnya? Ibu suri punya motif. Jika Guangxu hidup lebih lama dari ibu suri, ia akan memulai kembali reformasi dan mengacaukan semua kerja kerasnya di kekaisaran.

Adapun siapa yang memberikan racun, ada lima tersangka utama, termasuk kasim favoritnya, Li Lianying.

Kaisar Guangxu diperkirakan meninggal setelah mengonsumsi yoghurt yang dibawakan oleh kasimnya. (Wikipedia)

Tapi Zhu mengatakan hanya satu orang yang bisa membuat keputusan untuk membunuh. “Satu hal yang pasti: ibu suri adalah dalangnya. Sedangkan lima orang lainnya adalah kroninya. Dengan penjagaan ketat, tidak mungkin orang luar datang ke istana untuk meracuni kaisar,” tambah Zhu lagi.

Racun itu bisa saja ditempatkan dalam semangkuk yoghurt. Menteri ritual di istana Qing, Pu Liang, mewariskan kisah yoghurt ini secara lisan kepada cicitnya, Qi Gong.

Baca Juga: Akibat Kaisar Tiongkok 'Gila' Bertukang, Kasim Jalankan Pemerintahan

Baca Juga: Sun Yaoting, Kasim Terakhir Kekaisaran Tiongkok di Kota Terlarang

Baca Juga: Cheng Ho, Kasim yang Membawa Tiongkok Kuno ke Panggung Dunia

Baca Juga: Nestapa Pria Miskin di Tiongkok Kuno, Dikebiri demi Jadi Kasim

Zhu menceritakan kembali kisahnya. “Kakek buyutnya mengatakan kepadanya bahwa ia telah melihat seorang kasim keluar dari kamar ibu suri membawa mangkuk. Dia bertanya apa itu. Jawabannya adalah, ‘Yoghurt. Ibu suri meminta saya untuk memberikannya kepada kaisar.’ Dua jam kemudian, dia mendengar tangisan dari tempat tinggal kaisar dan teriakan ‘Kaisar mangkat.’”

Apa yang terjadi jika Kaisar Guangxu tidak dibunuh?

Bagi Esherick, sejarawan Qing dari Amerika, penelitian ini memiliki relevansi modern. Dia mengatakan ada minat yang kuat pada temuan soal penyebab kematian Kaisar Guangxu di Tiongkok. Seperti artikel surat kabar yang mempertanyakan apakah Tiongkok mungkin menjadi monarki konstitusional seandainya Guangxu tidak dibunuh.

“Bagi saya, hal yang menarik adalah ini mewakili semacam kerinduan akan kisah reformasi di dalam sistem,” kata Esherick.

Bagi Zhu, simbolismenya sangat berbeda. Menjadi bagian dari penelitian ini adalah hal yang sangat mengharukan.

“Saya mengenakan sarung tangan dan menyentuh tulang kaisar. Lebih dari 100 tahun yang lalu, dia adalah penguasa tertinggi dan orang biasa bahkan tidak diizinkan untuk melihatnya. Tetapi 100 tahun kemudian, orang biasa seperti saya dapat menyentuh tulangnya,” kata Zu.

Lain halnya dengan kerabat Kaisar Guangzu dan Puyi (kaisar terakhir) yang masih hidup saat penelitian dilakukan. Jin Yuzhang akan menjadi kaisar Tiongkok jika dinasti Qing tidak digulingkan. Sebagai keponakan dari keponakan Guangxu dan Puyi, dia menjadi laki-laki tertua di generasinya. Jika tidak ada reformasi, ia mungkin sempat menikmati takhta tertinggi Kekaisaran Tiongkok dan menjadi Putra Surgawi.