Revolusi Pascapandemi: Dunia Mode Pakaian Menjadi Ramah Lingkungan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 24 Februari 2023 | 17:00 WIB
Setelah pandemi, industri dan konsumsi pakaian menjadi lebih ramah lingkungan. Akankah terus berlanjut selamanya? (Mariia Korneeva / Shutterstock.com)

Nationalgeographic.co.id—Suka memakai masker di luar ruangan, walaupun pandemi telah usai. Rasanya mengganjal jika kita tidak memakai masker saat bepergian. Seolah menjadi cara berpakaian yang nyaris permanen.

Namun, tidak hanya cara berpakaian saja, tetapi juga industri pakaian mengalami perubahan dramatis setelah pandemi COVID-19. Pandemi telah membuat berbagai bisnis seperti toko ritel tutup dalam jangka waktu yang lama.

Kebiasaan baru (new normal) telah mengubah perilaku untuk bekerja dari rumah menjadi lebih fleksibel. Hal ini membuat kebutuhan berpakaian ke kantor dan pertemuan dengan banyak orang berkurang.

"Pandemi COVID-19 menyebabkan dan masih menyebabkan gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari miliaran orang di seluruh dunia," tulis sebuah penelitian di jurnal Cleaner and Responsible Consumption bertajuk "Fashion consumption during COVID-19: Comparative analysis of changing acquisition practices across nine countries and implications for sustainability".

"Ini memengaruhi praktik dan rutinitas di semua domain konsumsi rumah tangga, termasuk konsumsi pakaian," lanjut tim peneliti yang dipimpin oleh Katia Vladimirova dari University of Geneva.

Diketahui bahwa industri pakaian dan tekstil memberikan keuntungan dalam ekonomi global. Setidaknya Rp35 triliun manufaktur global bertambah, dan telah mempekerjakan 300 juta orang di seluruh dunia. Para peneliti menambahkan, angka ini akan terus tumbuh beberapa tahun ke depan.

"Sayangnya, industri ini juga memiliki jejak karbon yang cukup besar," tulis mereka di Phys.org. Industri fesyen telah menyubang dua sampai delapan persen emisi karbon dioksida secara global. Angka ini sudah digabung dengan jasa pengiriman, baik penerbangan internasional dan kapal pelayaran.

UN Fashion Alliance menambahkan, industri fesyen menggunakan hampir 215 triliun liter air, dan merupakan sumber pencemar mikroplastik ke lautan sebesar sembilan persen.

Di negara-negara Uni Eropa, Vladimirova dan tim menerangkan, industri fesyen menjadi sumber tekanan tertinggi kedua pada penggunaan lahan. Hal itu sudah termasuk untuk bahan baku, sehingga menjadi industri yang paling berpolusi.

Belum lagi, pakaian tekstil sering menggunakan bahan yang menghasilkan emisi. Ketika berada di tangan konsumen, pakaian dicuci sehingga mencemari air. Setelah itu, mode cepat pada industri fesyen, menyebabkan sampah yang lebih banyak.

Penelitian ini mengaji bagaimana konsumsi berpakaian selama pandemi, dan dampaknya pada masa setelahnya. Tim peneliti menilai, industri pakaian bergerak menuju konsep keberlanjutan.

Sebenarnya konsep keberlanjutan sebagai hal yang harus ditekankan dalam industri pakaian dan tekstil sudah dipakemkan sebelum 2020. Banyak kampanye dan gembar-gembor yang dilakukan pada pandemi sebagai potensi untuk membenahi industri awal era baru dalam mode berkelanjutan.

Baca Juga: Kolaborasi Arei dan Saya Pilih Bumi Melalui Produk Berkelanjutan

Baca Juga: Bahan Pakaian yang Tak Ramah Lingkungan, Mencemari Bumi tiap Dicuci

Baca Juga: Tak Perlu Beli Baru, Ikuti Gerakan Saling Bertukar oleh SayaPilihBumi

Baca Juga: Rambut Panjang dan Pendek: Perubahan Gaya Hidup Pria dalam Sejarah

Akan tetapi, pengetahuan tentang keberhasilan seruan ini belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini mengamati ada atau tidaknya perubahan signifikan, dan seberapa lama akan bertahan jika berhasil.

Para peneliti kemudian, melihat semua tingkat ekonomi fesyen, mulai dari produksi bahan baku dan pembuatan tekstil hingga distribusi, konsumsi dan pembuangannya. Mereka juga memahami sisi konsumen, seperti sikap dan niat untuk memilih fesyen berkelanjutan dan perilaku. Pemahaman ini menjadi penting untuk melihat perubahan di industri dan masyarakat.

Kajian mereka melibatkan beberapa negara di Timur Tengah, Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Utara. Hasilnya, ternyata ada perubahan dalam industri berpakaian karena pandemi.

"Kami menemukan bahwa sejumlah besar konsumen melaporkan bahwa pandemi telah memengaruhi sikap mereka terhadap pakaian," terang para peneliti.

"Secara keseluruhan, kami mengidentifikasi lima pola perubahan sikap konsumen terhadap pakaian selama COVID-19. Salah satu pola yang paling umum adalah penurunan minat pada mode, termasuk minat yang kurang pada estetika dan tren mode daripada kenyamanan," lanjut mereka.

Namun, hasil ini belum pasti untuk menilai kelanjutan dari perubahan industri ini. Para peneliti berharap bahwa perubahan ini tidak hanya terjadi karena dunia sekadar menghadapi pemulihan. Perubahan ini harus tetap berlanjut, bukan hanya sekadar respon dari pandemi.

"Akankah kita menyaksikan regresi dan kebangkitan di tahun 2020-an yang menderu atau akankah COVID-19 terus menjadi titik kritis dalam lintasan konsumsi mode berkelanjutan? Hanya waktu yang akan memberitahu," tutur mereka.