Nationalgeographic.co.id—Sampah pakaian adalah satu jenis limbah yang paling banyak dibuang dalam kehidupan manusia. Tak hanya berupa sampah pakaian bekas pakai, proses pembuatan pakaian juga menghasilkan banyak limbah lain, mulai dari sisa cairan pewarnan hingga material sistesis dalam proses pembuatan pakaian tersebut.
Majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2020 "Tiada Lagi Sampah" pernah melansir data jenis sampah dari laporan bertajuk "Major sources and monthly variations in the release of land-derived marine debris from the Greater Jakarta area, Indonesia" yang terbit di jurnal Nature. Berdasarkan laporan studi ini, dari 18.273 temuan sampah di Jakarta, sekitar 8,2 persennya merupakan limbah pakaian.
Secara nasional, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga. Data tersebut disitir dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) pada tahun 2021 oleh Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto.
"Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang," ungkap Arifin
Secara global, hanya kurang dari 1% pakaian yang didaur ulang (recycle) lagi sebagai pakaian. Salah satu alasannya, teknologi yang kini ada belumlah memadai untuk mendaur ulang semua jenis pakaian.
Akibatnya, produksi tekstil diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih global, menurut European Parliament. Selain itu, industri fesyen juga diperkirakan bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global.
Lebih lanjut, mencuci bahan sintetis tekstil diperkirakan melepaskan sekitar 0,5 juta ton serat mikro (mikrofiber) ke laut setiap tahunnya. Pencucian pakaian sintetis juga menyumbang 35% dari mikroplastik primer yang dilepaskan ke lingkungan. Satu beban cucian pakaian poliester dapat melepaskan 700.000 serat mikroplastik yang dapat berakhir di rantai makanan.
Dikutip dari The Independent, berikut ini adalah beberapa material atau bahan pakaian yang tidak ramah lingkungan:
1. Katun atau kapas
Konsultan fesyen berkelanjutan Alice Wilby menjelaskan, proses pembuatan katun membutuhkan banyak air. Untuk membuat satu celana jins dibutuhkan 10 ribu hingga 20 ribu galon air dan 3 ribu galon air untuk satu kaus.
Katun merupakan kain yang terbuat dari serat alami yakni kapas. Sayangnya, pertanian kapas menggunakan pestisida dan bahan kimia beracun yang meresap ke dalam bumi dan merusak persediaan air.
"Kapas merupakan tanaman yang mendatangkan malapetaka bagi manusia dan planet, bahkan sebelum menjadi pakaian," ucap Wilby.
Baca Juga: Transisi Kecukupan: Rem Belanja Konsumtif, Selamatkan Lingkungan
Baca Juga: Menelisik Perilaku Konsumsi Impulsif dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Baca Juga: Gerakan Tukar Baju Mengemuka di Tengah Ancaman Limbah Tekstil
Menurut Fashion For Good, produksi kapas konvensional menyumbang seperenam dari semua pestisida yang digunakan secara global, berdampak pada rentannya para petani dan komunitas lokal terpapar bahan kimia berbahaya. Penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, sekitar 20 ribu orang meninggal dunia karena kanker dan keguguran akibat bahan kimia yang disemprotkan pada kapas.
2. Bahan sintetis (poliester, nilon, dan akrilik)
Material sintesis menyumbang 63 persen input bahan untuk produksi tekstil, menurut Laura Balmond, manajer proyek Make Fashion Circular di badan amal lingkungan Ellen MacArthur Foundation (EMF). Bahan yang paling umum di sektor ini adalah poliester (55 persen), diikuti nilon (lima persen), dan akrilik (dua persen).
Sayangnya, bahan sintesis ini tidak ramah lingkungan karena biasanya terbuat dari minyak. Di samping itu, bahan sintetis juga tidak dapat terurai secara alami dan bergantung pada petrokimia atau ekstraksi bahan bakar fosil.
"Penggunaan bahan bakar fosil membawa serta masalah-masalah merugikan termasuk tumpahan minyak, emisi metana, dan gangguan satwa liar serta hilangnya keanekaragaman hayati," ucap Wilby.
Selain itu, kain sintetis juga berdampak buruk karena setiap kali dicuci akan melepaskan serat mikro ke saluran air yang menyebabkan kerusakan ekosistem laut secara signifikan.
3. Bahan hewan (wol, kulit, dan bulu)
Menurut Balmond, serat berbasis protein seperti wol menyumbang kurang dari dua persen dari semua serat yang digunakan dalam tekstil. Serat ini sebenarnya dapat terurai dengan aman.
Sayangnya, bahan-bahan dari hewan ini berasal dari peternakan yang menyebabkan 14,5 persen emisi gas rumah kaca. Selain itu, satu miliar hewan dibunuh setiap tahunnya untuk diambil kulit mereka.
Selain itu, sebanyak 5 persen kulit mengandung kromium. Ini adalah zat beracun yang terdapat pada penderita kanker dan penyakit kulit.
Adapun bahan-bahan pakaian yang ramah lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Bahan daur ulang
Kain daur ulang dari wol, kapas, sintetis dapat digunakan untuk mencegah kain yang terbuang di tempat sampah. Pemanfaatan kain daur ulang ini dapat menjaga kelestarian lingkungan dan produksi yang berkelanjutan.
2. Serat selulosa buatan
Serat berbasis selulosa mengacu pada serat yang diperoleh dari bahan nabati. Bahan ini dapat diekstraksi secara langsung dari tanaman, seperti kapas. Serat ini dapat terurai secara alami.
Proses pembuatan selulosa menggunakan air yang didaur ulang, lebih sedikit bahan kimia yang digunakan dan dikelola berdasarkan peraturan yang ketat.
3. Serat bast
Serat bast bersumber dari tanaman dengan batang yang terdiri dari inti kayu dan kulit berserat, seperti rami dan jelatang. Serat ini memiliki banyak keuntungan yakni konsumsi air yang sedikit dan tahan terhadap hama serta penyakit.
Fashion For Good mengatakan bahan-bahan ini sangat menarik karena memakan lahan pertaninan yang lebih kecil dibandingkan dengan serat alami lainnya, konsumsi airnya yang rendah, dan tahan banting terhadap hama dan penyakit.
Extinction Rebellion mengklaim bahwa rami adalah salah satu alternatif terbaik untuk pengganti kapas karena menggunakan lebih sedikit air, dapat ditanam di banyak lingkungan berbeda di seluruh dunia, tumbuh subur tanpa perlu pestisida, dan menyumbang lebih sedikit jejak karbon.
Untuk mendukung produk-produk berkelanjutan, Sahabat bisa menemukannya dengan klik di sini.
Source | : | The Independent,Nature,European Parliament |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR