Nationalgeographic.co.id—Ketika Jepang menaklukkan kawasan timur laut Tiongkok, mereka berencana mendirikan rezim boneka Manchukuo. Pada 1932, Jepang menawarkan kepada Aisin Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok, untuk menjadi Kaisar Manchukuo. Puyi, yang merindukan kembalinya tradisi kuasa kaisar, segera menyetujuinya.
Kekaisaran Manchukuo resmi diproklamasikan pada 1934. Peristiwa ini sekaligus menandai ketiga kalinya Puyi naik takhta. Sebuah tragedi. Dia naik takhta sampai tiga kali, namun tak satu hari pun dia memerintah sebagai Kaisar Tiongkok.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, Jepang kalah dalam Perang Dunia Kedua. Uni Soviet menyerang Manchukuo yang lepas dari Jepang. Ketika Puyi bersama rombongan kerajaan dan tentara Jepang yang kalah perang hendak melarikan diri ke Negeri Matahari Terbit, tentara-tentara Soviet berhasil menangkap mereka di bandara Manchuria. Mereka dibawa ke Uni Soviet untuk menemui nasib yang tidak pasti. Peristiwa penangkapan itu terjadi pada 18 Agustus 1945.
Puyi dalam autobiografinya yang disunting oleh A. Barker bertajuk "The Last Manchu: The Autobiography of Henry Pu Yi, Last Emperor of China", mengisahkan kehidupannya selama lima tahun sebagai tahanan Uni Soviet di Chita dan Khabarovsk. Buku itu terbit pada 1967, tahun kematian Puyi .
“Dalam kegelapan, saya menjadi ketakutan,” tulisnya menggambarkan suasana mencekam ketika dia ditangkap di Manchuria sampai perjalanan ke Siberia menuju tempat penahanannya. “Suara itu membuat saya berpikir bahwa beberapa orang Tiongkok telah muncul untuk membawa kami kembali ke Tiongkok, dan jika ini benar, saya pasti akan dibunuh.”
Ajay Kamalakaran menulis untuk Rusia Beyond (RBTH) tentang Puyi berjudul In the Last Emperor’s words: Life as a prisoner in the USSR. Menurutnya, sangat sedikit sumber Rusia yang berkisah ketika mantan Kaisar Tiongkok itu menjalani kehidupan di Soviet. Ia merujuk buku autobiografi Puyi The Last Manchu sebagai rujukan utama untuk kisah penahanannya di Soviet.
Puyi berkisah bahwa dia diterbangkan dari Manchuria ke Siberia. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan bermobil selama berjam-jam. Seorang perwira Angkatan Darat Soviet keturunan Tiongkok mengatakan kepadanya dalam bahasa Mandarin bahwa ia membolehkan Puyi meminta berhenti sejenak untuk sekadar buang air kecil. Saat itu Puyi waswas karena mungkin mereka berniat membunuhnya.
Belakangan, Puyi ternyata diperlakukan dengan hormat dan tinggal dengan nyaman di Chita dan Khabarovsk selama lima tahun berikutnya.
Chita merupakan pusat administratif Krai Zabaykalsky di Siberia Timur. Kini, kota ini ditetapkan sebagai kota kembar dari Manchuria, Republik Rakyat Tiongkok. Sedangkan Khabarovsk terletak 30 kilometer dari perbatasan Tiongkok. Kota ini merupakan kota terbesar kedua di Rusia bagian timur, setelah Vladivostok.
“Kami makan tiga kali sehari Rusia serta teh sore, gaya Rusia,” tulisnya. “Ada petugas yang menjaga kami dan dokter serta perawat, yang terus-menerus memeriksa kesehatan kami dan merawat kami saat kami sakit.”
Dalam autobiografinya, Puyi mengungkapkan bahwa selama penahanan di sanatorium dekat Chita, Soviet memberinya buku, permainan, dan radio. Bahkan, dia sangat menikmati kehidupannya karena bisa berjalan-jalan secara teratur.