Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 26 Februari 2023 | 11:01 WIB
Puyi di Penjara Fushun, Tiongkok, selama 1950-an. Kaisar terakhir Tiongkok dibebaskan setelah sepuluh tahun dalam penjara. Ia melanjutkan hidupnya sebagai rakyat jelata, meninggal pada 17 Oktober 1967. ( Hsu Chung-mao/Think China)

“Tidak lama setelah kedatangan kami, saya mengembangkan ilusi bahwa karena Uni Soviet, Inggris Raya, dan Amerika Serikat adalah sekutu, saya mungkin bisa pindah ke Inggris atau Amerika Serikat, dan menjalani kehidupan di pengasingan,” demikian Puyi menulis.

Pada 1946, Puyi muncul sebagai saksi di hadapan Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo. Dia bersaksi tentang invasi tentara Jepang ke Tiongkok. Puyi mengatakan dia berada di bawah kendali tentara Jepang di Kwantung, dan menegaskan kembali identitasnya sebagai orang Tiongkok. ( Hsu Chung-mao/Think China)

Dia berpikir, barang-barang seperti perhiasan dan karya seni miliknya mungkin bisa digunakan untuk melanjutkan hidup di Barat. Bahkan dia rela menyumbangkan barang-barang berharganya untuk pemulihan pascaperang di Soviet. “Karena Uni Soviet adalah faktor penentu dalam hidup saya, oleh karena itu yang terbaik adalah bersikap baik kepada orang Rusia dan berusaha mendapatkan dukungan mereka,” tulisnya.

Soviet memberinya buku-buku Marxisme dan Leninisme. Namun Puyi heran mengapa dia tidak diizinkan tinggal secara permanen di Soviet.Menurut arsip Soviet, Pu Yi memang telah melayangkan beberapa surat kepada Stalin.

Sang mantan Kaisar Tiongkok Terakhir itu memohon untuk tetap tinggal di Soviet terkait keamanan. Alasannya, di Tiongkok sedang terjadi perang saudara, kaum Nasionalis maupun Komunis pasti akan membunuhnya. Jalan terbaik untuk bisa hidup di Barat adalah kepastian untuk bisa tinggal lebih lama di Soviet.

Setelah beberapa lama di Chita, dia dipindahkan ke kota Khabarovsk. Jarak antara Chita dan Khabarovsk sekitar 2.000-an kilometer. 

Kehidupannya masih terbilang istimewa, meski tak sebaik Chita. Boleh dibilang, selama lima tahun penahanan Puyi di Soviet, dia kehilangan perlakuan khusus ala bangsawan Tiongkok. Dia tidak lagi memiliki petugas yang melayani, kecuali sesama narapidana. Puyi juga kesal karena semua orang memanggilnya dengan sebutan "Tuan Pu" alih-alih memanggilnya "Kaisar" atau "Yang Mulia."

Selama di Khabarovsk, Puyi mendapat sebidang tanah untuk kegiatan berkebun sehingga pengobat kebosanan. “Saya dan keluarga menanam paprika hijau, terong tomat, kacang-kacangan, dan sayuran lainnya, dan ketika saya melihat bagaimana tanaman hijau ini tumbuh setiap hari, saya sangat terkesan,” tulis Puyi dalam autobiografinya. 

Baca Juga: Puyi, Kaisar Tiongkok yang Pertama Kali Belajar Bahasa Inggris

Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali

Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa

Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Aisin-Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok 

Pada 1946, otoritas Soviet membawanya ke Tokyo untuk bersaksi di Pengadilan Militer Internasional. “Saya menuduh Jepang sebagai penjahat perang dengan cara yang sangat langsung dan tanpa pamrih,” tulisnya. “Namun, setiap kali saya berbicara tentang periode sejarah ini, saya tidak pernah membahas kesalahan saya sendiri.”

Puyi sangat beruntung , sekaligus tidak beruntung. Dia ditahan untuk waktu yang lama tetapi baik Soviet dan Partai Komunis Tiongkok menginginkan dia hidup. Tujuannya, mereka dapat mengklaim kemenangan dalam pertempuran legitimasi propaganda pascaperang.

Puyi menjalani masa penjara selama lima tahun di Soviet, kemudian dilanjutkan penahanan di Tiongkok sampai 1959. Pemerintahan Mao memberikan grasi khusus kepada Puyi. Dia pun menjadi orang biasa, mewakili masyarakat Manchu dalam Kongres Nasional Rakyat Tiongkok.

Setelah sepuluh tahun hidup dalam penjara, Puyi bekerja di Kebun Raya Peking—hasil pengalamannya selama di penjara di Khabarovsk. Dia bahkan mendapat dukungan dari Mao Zedong untuk menulis autobiografinya. Kelak, perjalanan hidupnya yang ditulis selama dia sebagai narapidana dibukukan dalam tajuk From Emperor to Citizen: The Autobiography of Aisin-Gioro Pu Yi, yang terbit perdana pada 1960.