Nationalgeographic.co.id—Puluhan juta orang tewas di Tiongkok dalam kelaparan yang mengerikan. Peristiwa itu terjadi ketika dimulainya kebijakan the Great Leap Forward atau 'Lompatan Jauh ke Depan' sepanjang 1958–1961.
Setelahnya, muncul Revolusi Kebudayaan Tiongkok yang diluncurkan oleh Mao Zedong pada 1966. Revolusi ini bertujuan untuk menggulingkan musuh politiknya setelah kegagalan Lompatan Jauh ke Depan.
Namun demikian, Revolusi Kebudayaan hanya menyisakan kekerasan dan kehancuran selama satu dekade di seluruh Tiongkok.
Di puncak hiruk pikuk Revolusi Kebudayaan Tiongkok, para korban dimakan di "perjamuan daging" yang mengerikan. Hal tersebut terjadi akibat konflik kelas yang dipimpin Partai Komunis yang lantas berubah menjadi kekacauan sosial.
Krisis sosial yang muncul terjadi di mana Pengawal Merah Remaja memukuli guru sampai mati karena "kontra-revolusioner," begitu juga anggota keluarga saling mencela, sementara faksi-faksi bentrok sengit untuk menguasai seluruh negeri.
Beberapa ekses terburuk terjadi di Wuxuan, di wilayah paling selatan Guangxi, di mana jantung, hati, dan alat kelamin korban dipotong dan diumpankan ke orang-orang yang membabi buta.
"Aksi kanibalisme ini berlandaskan kebencian politik daripada kelaparan," tulis Responden Hindustan Times dalam artikel dengan judul China suppresses horrific history of cannibalism yang terbit pada 11 Mei 2016.
Para sejarawan telah memastikan bahwa tindak kekerasan tersebut diakibatkan oleh lokasi terpencil Wuxuan, pemimpin komunis regional yang kejam, kemiskinan dan faksionalisme yang pahit.
"Dalam 10 tahun malapetaka, Guangxi tidak hanya menyaksikan banyak kematian, mereka juga mengalami kekejaman dan kekejaman yang mengerikan," terusnya.
Ada pemenggalan kepala, pemukulan, penguburan hidup, rajam, penenggelaman, pendidihan, pembantaian berkelompok, pengeluaran isi perut, penggalian jantung, hati, alat kelamin, pemotongan daging, meledakkan dengan dinamit, dan banyak lagi.
"Semuanya dilakukan tanpa metode yang tidak digunakan dan secara brutal membabi buta!" tegasnya. Dalam beberapa momen, akal sehat seperti hilang begitu saja, berganti dengan kemerosotan moral.
Kengerian terus berlanjut pada 1968, di mana seorang guru Geografi bernama Wu Shufang dipukuli sampai mati oleh siswa di Sekolah Menengah Wuxuan. Jenazah dibawa ke batu datar di sungai Qian.
Setelahnya, secara mengejutkan, para siswa tersebut mulai merobek tubuh gurunya kemudian mengambil jantung dan hati. Kembali ke sekolah, murid-murid memanggang dan memakan organ.
"Ini bukan kanibalisme karena kesulitan ekonomi, seperti saat masa-masa kelaparan,” ungkap XL Ding, pakar Revolusi Kebudayaan di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong kepada Hindustan Times.
"Kekacauan itu bukan disebabkan oleh alasan ekonomi belaka yang sudah pernah terjadi sebelumnya, melainkan disebabkan oleh peristiwa politik, kebencian politik, ideologi politik, ritual politik," tambah Ding.
Menurut Zheng Yi, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian terperinci tentang topik tersebut menyebut bahwa, setidaknya 137 orang—mungkin ratusan lebih—tewas dan dimakan oleh kanibalis.
Tercatat dalam dokumen yang diselundupkan Zheng Yi ke Amerika Serikat, ada sekitar ribuan orang menjadi kanibalis dalam peristiwa paling berdarah yang pernah terjadi di Tiongkok.
Donald S. Sutton, seorang profesor di Universitas Carnegie Mellon, menerbitkan hasil penyidikan dalam Consuming Counterrevolution: The Ritual and Culture of Cannibalism in Wuxuan, Guangxi, China, May to July 1968, yang terbit di Comparative Studies in Society and History pada 1995.
"Orang-orang saling memakan, demikian pesan dari Guangxi selatan ke Peking pada awal musim panas 1968, saat fase kekerasan Revolusi Kebudayaan hampir berakhir," tulis Donald dalam jurnalnya.
Ia menambahkan, "Ketika bala bantuan milisi tiba di Wuxuan, sebagian dari mayat yang membusuk masih memenuhi pusat kota. Namun, tidak ada investigasi yang tepat dilakukan, karena daaerah ini adalah kabupaten di mana ketertiban telah diberlakukan dan para pemberontak telah dihancurkan."
Menurutnya, investasi baru dikirim ke tempat kejadian pada 1981–83. Tim investigasi menyusun daftar yang dimakan dan sejumlah biang keladi kanibalisme. "Lima belas orang dipenjara, dan 130 anggota dan kader partai didisiplinkan."
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Baca Juga: Kisah Toghon Temür, Pangeran Terbuang yang Jadi Kaisar Tiongkok
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Baca Juga: Kisah Kelam: Sekeluarga Dieksekusi Kaisar Wanita Pertama Tiongkok
Daerah Otonomi Guangxi Zhuang mengumumkan pengusiran terhadap semua yang telah memakan daging manusia. Namun demikian, ungkap Donald, "peraturan ditarik dengan cepat karena takut bahwa dokumen tersebut akan disebarluaskan ke Hong Kong dan mengungkapkan episode kanibalisme ini kepada dunia."
Donald dibuat terkejut oleh salah seorang pelaku sejarah yang terduga kanibalis. Seorang pagawai berusia renta itu dengan bangga mengatakan kepada Donald: "Di Wuxuan... kami makan lebih banyak orang daripada tempat lain di seluruh Tiongkok."
Kisah ini juga diungkap oleh John Gittings dalam catatan pendeknya berjudul The truth behind the fiction, terbit pada 1994. "Sejarah Tiongkok telah mencatat banyak contoh 'kanibalisme balas dendam'—meskipun tidak diragukan lagi beberapa di antaranya bersumber dari karya sastra—selama lebih dari dua ribu tahun," ungkap Gittings. Orang-orang bisa melampiaskan kemarahan dan kemenangan mereka terhadap yang kalah dengan mutilasi, ungkapnya.
"Cerita pendek ini mengajak kita untuk merenungkan kedalaman kodrat manusia dalam kondisi ekstrem," pungkas Gittings, "Siapa yang mengatakan bahwa dengan cara yang berbeda dan di tempat yang berbeda, hal itu tidak dapat terjadi lagi?"