Manusia Prasejarah di Asia Tenggara adalah 'Korban' Perubahan Iklim

By Utomo Priyambodo, Jumat, 3 Maret 2023 | 12:00 WIB
Perubahan muka daratan dan demografi di Asia Tenggara. Migrasi orang-orang prasejarah Asia Tenggara ternyata disebabkan oleh perubahan iklim. Oleh karena itu mereka disebut sebagai pengungsi iklim. (Hie Lim Kim et al/Communications Biology)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru dari tim riset multidisiplin Nanyang Technological University (NTU) Singapura mengungkapkan bahwa manusia prasejarah di Asia Tenggara adalah korban dari perubahan iklim. Spesifiknya, mereka adalah korban dari kenaikan permukaan air laut.

Studi ini menemukan bahwa kenaikan permukaan air laut yang cepat telah mendorong para pemukim awal di Asia Tenggara untuk bermigrasi selama periode prasejarah. Migrasi ini meningkatkan keragaman genetik kawasan tersebut saat ini.

Sekutar 26.000 tahun lalu, Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa pada awalnya merupakan bagian dari daratan besar hutan hujan dan hutan bakau pesisir di landas kontinen Asia Selatan. Kawasan ini dikenal dengan nama Sundaland.

Namun selama periode besar terakhir pemanasan global dalam sejarah Bumi, dari periode Glasial Maksimum Terakhir (sekitar 26.000—20.000 tahun lalu) hingga pertengahan 50 Holosen (sekitar 6.000 tahun lalu), permukaan laut naik 130 meter.

Kenaikan permukaan laut ini membanjiri dan menenggelamkan setengah dari Sundaland. Limpahan air juga memutus jembatan darat dan membelah daratan besar itu menjadi pulau-pulau kecil di wilayah tersebut saat ini.

Untuk memahami dampak terhadap manusia yang tinggal di Sundaland selama salah satu kenaikan permukaan laut paling dramatis dalam sejarah Bumi, tim ilmuwan NTU Singapura merekonstruksi sejarah daratan menggunakan dua pendekatan berbeda. Pertama adalah paleogeografi, studi lanskap fisik bersejarah. Kedua adalah genetika populasi.

Peneliti utama, Lektor Kim Hie Lim dari Asian School of the Environment (ASE) NTU, dan Singapore Centre for Environmental Life Sciences Engineering (SCELSE) di NTU mengatakan, "Perubahan lingkungan berdampak besar pada sejarah manusia, mendorong migrasi populasi, pertumbuhan, dan distribusi."

"Namun, yang kurang dibahas adalah bagaimana perubahan lingkungan dapat membentuk genetika populasi. Pekerjaan kami adalah contoh pertama yang dilaporkan untuk memberikan bukti bahwa kenaikan permukaan laut mengubah susunan genetik populasi manusia di Asia Tenggara—warisan yang terus berdampak pada populasi saat ini," papar Lim seperti dikutip dari keterangan tertulis NTU.

Dengan menggunakan data sejarah permukaan laut Asia Tenggara dan Selatan, termasuk catatan kuno Singapura yang dibuat oleh Earth Observatory of Singapore (EOS) dan ASE NTU, tim peneliti membuat peta paleogeografi yang berasal dari 26.000 tahun lalu hingga saat ini.

Tim NTU juga menggunakan data sekuens seluruh genom dari 59 kelompok etnis, termasuk populasi asli Asia Tenggara dan Selatan dari 50.000 tahun lalu. Dengan menganalisis data genom berkualitas tinggi, tim dapat menyimpulkan keturunan genetik dan sejarah demografi kelompok, termasuk ukuran dan distribusi populasinya.

Meski para peneliti di tempat lain telah mempelajari sejarah populasi berdasarkan genetika, kebanyakan dari mereka menggunakan DNA mitokondria (gen yang diwariskan dari ibu). Ini tidak menceritakan gambaran lengkap tentang nenek moyang individu.

Dengan menggunakan data sekuens seluruh genom—informasi yang tepat dari seluruh susunan genetik individu yang diwarisi dari ibu dan ayah, penelitian baru NTU ini menawarkan sejarah demografis yang tidak bias dari penduduk asli yang mendiami Sundaland.