Manusia Prasejarah di Asia Tenggara adalah 'Korban' Perubahan Iklim

By Utomo Priyambodo, Jumat, 3 Maret 2023 | 12:00 WIB
Perubahan muka daratan dan demografi di Asia Tenggara. Migrasi orang-orang prasejarah Asia Tenggara ternyata disebabkan oleh perubahan iklim. Oleh karena itu mereka disebut sebagai pengungsi iklim. (Hie Lim Kim et al/Communications Biology)

Baca Juga: Tiga Sisa Jasad di Pulau Alor Ungkap Migrasi Terawal Manusia Indonesia

Baca Juga: Mengubah Teori Migrasi: Ada Jejak Leluhur Asia Timur di Eropa Timur

Baca Juga: Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores Lewat Selayar 

Seluruh data urutan genom dihasilkan oleh organisasi nirlaba GenomeAsia 100K. Diluncurkan pada tahun 2016 dan diselenggarakan oleh NTU, inisiatif ini bertujuan untuk lebih memahami keragaman genom etnis Asia dengan mengurutkan 100.000 genom orang yang tinggal di Asia.

Penulis kontributor studi, Profesor Stephan Schuster, ketua bidang genomik di School of Biological Sciences NTU, yang juga Direktur Riset SCELSE dan Ketua Ilmiah GenomeAsia 100K, mengatakan, "GenomeAsia 100K secara sistematis menghasilkan peta keragaman genetik manusia Asia, termasuk etnis asli yang telah menduduki wilayah untuk waktu yang lama."

"Mengintegrasikan peta tersebut dengan data paleoklimatik memungkinkan kita sekarang untuk memahami dengan tepat bagaimana peristiwa iklim masa lalu telah menghasilkan migrasi manusia purba, serta dampaknya terhadap struktur populasi saat ini."

Menyatukan kisah migrasi manusia di Sundaland kuno

Menggabungkan temuan dari dua pendekatan, para ilmuwan menyimpulkan perubahan kepadatan populasi dari peta paleogeografi sejarah berkualitas tinggi yang dihasilkan.

Peta tersebut melukiskan gambaran migrasi manusia prasejarah di Sundaland. Peta ini menunjukkan bahwa contoh migrasi paksa manusia yang terdokumentasi paling awal didorong oleh kenaikan permukaan laut.

Para ilmuwan menemukan bahwa dua periode kenaikan permukaan laut yang cepat (tingkat kenaikan permukaan laut pada 46 mm/tahun dan 22 mm/tahun) mendorong pemisahan populasi menjadi kelompok-kelompok kecil di seluruh Sundaland. Ini terjadi karena daratan besar terpecah menjadi pulau-pulau kecil sehingga memaksa orang-orang untuk membubarkan diri.

Di sisi lain, saat air laut naik, suhu kawasan juga meningkat. Suhu yang lebih hangat ini menciptakan lingkungan hidup yang menguntungkan untuk mendukung pertumbuhan populasi manusia.

Hal ini menyebabkan kepadatan populasi melonjak setidaknya delapan kali lipat dari era Glasial Maksimum Terakhir. Terutama di wilayah kepulauan Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Melayu, Sumatra, dan Kalimantan.