Nationalgeographic.co.id—Perang Saudara Guatemala adalah konflik Perang Dingin paling berdarah di Amerika Latin. Ratusan ribu jiwa dinyatakan tewas akibat perang yang menyengsarakan ini.
Selama tahun 1940-an, pemerintah sayap kiri berkuasa di Guatemala, dan Jacobo Árbenz, seorang perwira militer populis dengan dukungan dari kelompok komunis, terpilih menjadi presiden pada tahun 1951.
"Ia menjadikan reforma agraria sebagai agenda kebijakan utama, yang bertentangan dengan kepentingan negara," tulis Rebecca Bodenheimer kepada ThoughtCo. dalam artikel berjudul "The Guatemalan Civil War: History and Impact"yang terbit 21 Maret 2020.
United Fruit Company milik AS, pemilik tanah terbesar di Guatemala. CIA memulai upaya untuk mengacaukan rezim Árbenz, merekrut orang buangan Guatemala di negara tetangga Honduras.
Pada tahun 1953, seorang kolonel Guatemala yang diasingkan, Carlos Castillo Armas, yang telah dilatih di Fort Leavenworth, Kansas, dipilih oleh CIA untuk memimpin kudeta terhadap Árbenz dan dengan demikian menjadi front bagi upaya Amerika untuk menggulingkannya.
Castillo Armas menyeberang ke Guatemala dari Honduras pada 18 Juni 1954, dan segera dibantu oleh pasukan militer angkatan udara Amerika.
Árbenz tidak dapat meyakinkan militer Guatemala untuk melawan invasi—sebagian besar karena perang psikologis yang digunakan oleh CIA untuk meyakinkan mereka bahwa para pemberontak secara militer lebih kuat daripada yang sebenarnya—tetapi berhasil bertahan di kantor selama sembilan hari lagi.
Pada 27 Juni 1954, Árbenz mengundurkan diri dan digantikan oleh junta kolonel, yang setuju untuk mengizinkan Castillo Armas mengambil alih kekuasaan.
Perang saudara secara resmi dimulai pada 13 November 1960, ketika sekelompok perwira militer mencoba melakukan kudeta terhadap Jenderal Miguel Ydígoras Fuentes yang korup, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah Castillo Armas terbunuh.
Pada tahun 1961, mahasiswa dan oposisi kaum kiri memprotes partisipasi pemerintah dalam melatih orang buangan Kuba untuk melakukan invasi Teluk Babi, dan ditanggapi dengan kekerasan oleh militer.
Kemudian, pada tahun 1963, selama pemilihan nasional, kudeta militer lainnya terjadi dan pemilihan dibatalkan, memperkuat cengkeraman kekuasaan militer. Kemudian, pada tahun 1966, seorang presiden sipil, pengacara dan profesor Julio César Méndez Montenegro, terpilih.
Akibat desakan pasukan militer, Méndez mengizinkan militer untuk melawan gerilyawan sayap kiri dengan caranya sendiri, tanpa campur tangan dari pemerintah atau sistem peradilan.