Sugra yang sudah menguasai nada-nada dalam gitar dengan notasi doremi, dapat memadukannya dengan nada-nada yang ada pada gamelan. Olehnya, grade-grade-nya dibuat pentatonis sehingga lahirnya alunan gitar pentatonis Dermayu.
Alunan gitar dan gamelan itu adalah bunyi-bunyian tembang klasik, yaitu temponya lambat, tidak ada syair lagu, yang ada kerangka lagu (wirahma). Dari sana, lahirlah kiser yang menjadi awal perkembangan musik tarling.
Tembang tarling awalnya tergolong ke dalam lagu yang tidak memiliki ketukan. "Iramanya bebas tetapi ada aturan panjang pendek tertentu yang tidak bisa dituliskan. Dalam sistem laras lagu Sunda, irama tersebut digolongkan sebagai sekar wirahma mardika," lanjutnya.
Baca Juga: Tarling, Musik Khas Indramayu Tentang Ketabahan dalam Penderitaan
Baca Juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Baca Juga: Kisah Para Pengidap HIV/AIDS di Pantura Melawan Stigma Buruk Mayarakat
Baca Juga: Nada Nusantara: Menyelamatkan Kebinekaan Musik Tradisi dari Kepunahan
Berlatar kepiluan akan perkembangan zaman kolonial, lirik-lirik musik tarling selalu mengisahkan larik sendu dan penderitaan.
Lagu dan liriknya serupa dengan lagu-lagu yang berkarakter elegi (kesedihan) maupun balada (lagu-lagunya panjang). Lirik lagu-lagu tarling tidak baku, akan tetapi berisikan syair-syair yang secara cerdas diungkapkan seketika menurut tema lagunya.
Syair tarling berisikan sastra wangsalan, parikan, paribahasa dan purwakanti. Tembang tarling kreasi merupakan suatu kreasi dari tembang macapat atau tembang cilik yang sudah dikenal sebelumnya sebagai jenis tembang di Jawa.
Tahun 1936-an, tembang tarling mulai mewabah di kalangan anak muda. Anak-anak muda di Indramayu sudah mulai berkeinginan memiliki gitar sendiri. Sampai terdengar luas, hampir di seluruh tanah Pantai Utara Jawa (Pantura), tarling menjadi populer, bahkan hingga hari ini.