Mengapa Orang Ramah LGBT Masih Enggan Bertetangga dengan Homoseksual?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 10 Maret 2023 | 08:00 WIB
Pelangi sebagai lambang LGBTQ. Masih ada banyak orang heteroseksual yang mengaku ramah untuk homoseksual, tetapi enggan bertetangga dengannya. (Sofia von Humboldt)

Nationalgeographic.co.id—Meski banyak kalangan heteroseksual mengaku dirinya ramah atau menjadi 'sekutu' bagi kalangan LGBTQ, tetapi sebagian masih enggan bertetangga dengan mereka. Sebuah temuan di jurnal Sociological Research Online yang dipublikasikan 25 Februari 2023, menyebut mereka sebagai "sekutu yang dangkal".

Temuan ini diungkapkan dalam survei terhadap 545.531 orang, dan 8,5 persen di antaranya bersikap demikian dalam makalah bertajuk "Superficial Allies: The Role of Legal Inclusion and Social Obedience in Stigma Processes".

Penelitian itu berpendapat, sekutu yang masih enggan bertetangga dengan homoseksual mungkin takut dengan "stigma kesopanan". Stigma ini muncul akibat tidak adanya perlindungan hukum untuk minoritas seksual.

Dalam contohnya, selama ini lebih mudah orang untuk memberi stigma terkait HIV atau orientasi seksual orang lain. Stigma ini diberikan kepada hal yang tidak tampak secara fisik pada orang lain.

Hal ini berbeda dengan stigma kepada yang tampak secara fisik seperti ras, jenis kelamin, warna kulit, dan sebagainya, terang  Shahin Davoudpour, penulis makalah dan peneliti pascadoktoral Northwestern University Feinberg School of Medicine, AS.

Davoudpour menambahkan, dalam penelitian stigma selama 50 hingga 60 terakhir mengungkapkan bahwa sebenarnya masyarakat di seluruh dunia telah mencapai penerimaan terhadap kelompok minoritas. Meski demikian, masyarakat cenderung lupa untuk memperjuangkan hukum dan kehidupan yang ramah (inklusivitas) bagi kelompok tersebut.

Menurutnya, berdasarkan temuannya, ini adalah pendekatan yang salah. Pasalnya, kelompok yang menerima kalangan homoseksual, mungkin masih menolak untuk berinteraksi penuh dengan kelompok yang telah distigmatisasi oleh masyarakat luas.

“Hal ini mulai diejek, dengan orang-orang berkata, ‘Ini bukan kejahatan, tapi saya tetap pergi ke Neraka?’ Tapi saya yakin itu tidak benar,” kata Davoudpour di laman Northwestern University.

Kalangan penerima tetapi menolak kedekatan tetangga atau--yang Davoudpour sebut sebagai 'sekutu yang dangkal', menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan hukum bagi minoritas seksual. Agar mengentaskan ketakutan masyarakat terhadap stigma, hukum pengakuan dan perlindungan seharusnya ada di tingkat nasional.

Davoudpour berpendapat, jika perlindungan hukum terhadap kelompok homoseksual semakin baykak, semakin kecil kemungkinan orang menolak untuk bertetangga dengan mereka. Pendapat ini mungkin berhasil untuk inklusivitas antara kelompok yang secara garis keras memberi stigma, atau sekutu bagi kalangan homoseksual.

“Jika kita mengubah undang-undang untuk memasukkan dan melindungi yang terstigma, bahkan jika retorika mereka mengatakan itu adalah 'dosa', kita dapat memobilisasi kelompok penerima untuk mencapai potensi penuh mereka. Begitulah perubahan yang berarti akan terjadi, itulah pesan utamanya," lanjutnya.

Baca Juga: Kewirausahaan Mandiri Sebagai Wadah Ekspresi Rasa Bebas Kaum LGBT

Baca Juga: Beda Praktik Homoseksualitas Era Romawi Kuno dan Zaman Modern

Baca Juga: Apa Pendapat Muslim di Negara Eropa Barat Tentang Homoseksualitas?

Baca Juga: Menelusuri Fakta Transgender Bukanlah Sebuah Penyakit Mental

Para peneliti menemukan sikap ini sebagai tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum bagi minoritas seksual di tingkat nasional, meningkatkan prasangka seksual di antara sekutu dan pemberi stigma terhadap mereka.

“Dengan tidak adanya perlindungan hukum, orang-orang yang menerima sepenuhnya ini mungkin berpikir bahwa mereka dapat ditolak jika mereka bergaul dekat dengan kaum gay,” kata Davoudpour.

“Mungkin, mereka menggunakan ini sebagai semacam mekanisme pertahanan. 'Aku tidak bisa terlihat bersamamu karena aku mungkin akan dipecat. Kalau saya tidak menghukum Anda, mereka yang akan menghukum saya’,” terangnya.

Hasil penelitian ini diungkap dengan pemeriksaan data dari 113 negara dengan berbagai tingkat inklusi hukum untuk minoritas seksual. Lebih dari 500 ribu responden sruvei menyatakan prasangka mereka terhadap minoritas seksual dari tingkat "tidak menerima homoseksual" hingga "menerima sepenuhnya".

Hasilnya 55.523 responden yang menjawab "menerima sepenuhnya". Namun, 4.714 responden dari yang mengaku menerima, justru tidak menginginkan tetangga homoseksual. 

“Sementara kekuatan pengecualian hukum dalam stigmatisasi tidak dapat disangkal, dampaknya terhadap perilaku sekutu belum pernah dieksplorasi," terang Davoudpour mengenai mengapa penelitian ini dilakukan.