Gaya rambut ini bahkan berevolusi beberapa kali selama pemerintahan Qing. Awalnya pria mencukur semua rambut mereka kecuali tambalan seukuran koin di belakang dan untaian kuncir tipis yang digantung. Di akhir kekaisaran, pria hanya mencukur bagian dahi saja.
Meski begitu, ada banyak tindakan perlawanan. Mereka yang bebal mencoba melepaskan ujung kuncir, membiarkan rambut tergerai, atau mengenakan sorban untuk menyembunyikan model kontroversial itu.
Baca Juga: Putri Taiping Dinasti Tang, Menikah demi Raih Kuasa Kaisar Tiongkok
Baca Juga: Ketika Janggut Jadi Simbol Ketampanan Pria di Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Raja Si Zhu dari Dinasti Xia, Penemu Baju Besi di Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Alasan Kaisar Tiongkok Xianzong Tidak Punya Ratu, tapi Haremnya Banyak
Pengikut Pemberontakan Taiping abad ke-19 dikenal sebagai pemberontakan rambut panjang. Pertentangan terhadap biànzi bahkan dikaitkan dengan pencuri roh di abad ke-18. Saat itu beredar rumor bahwa para penyihir akan mencuri roh seseorang dengan cara mengambil benda milik orang itu. Salah satu yang diambil adalah kepang.
Pada abad ke-19, gaya rambut tersebut menekankan keberbedaan imigran Tionghoa di luar negeri. Para perusuh memotong rambut penambang Tionghoa di ladang emas Lambing Flat Australia pada tahun 1861. Hal sama juga terjadi kepada buruh Tionghoa di Colorado pada tahun 1880-an. Semua tindakan ini karena iri hati. “Dan perusuh itu percaya bahwa orang Tionghoa tanpa kuncir tidak akan bisa pulang,” tambah Rubo lagi.
Menjelang hari-hari terakhir Dinasti Qing di awal abad ke-20, biànzi semakin dianggap sebagai simbol penindasan.
“Orang-orang Tionghoa pada masa itu memberontak bukan karena kekaisaran di ambang kehancuran, tetapi karena mereka harus memiliki model rambut biànzi,” klaim penulis Lu Xun.
Secara internasional, biànzi juga merupakan tanda penghinaan. Seorang atlet lompat tinggi Tionghoa dilaporkan menabrak mistar dengan rambut kepangnya selama kompetisi atletik pada tahun 1910. North China Herald melaporkan bahwa pengamat asing menganggap kepang sebagai pelengkap yang tidak berguna yang perlu disingkirkan.
Menjelang memudarnya kekuasaan Dinasti Qing, pemberontak di Guangdong, Tianjin, Shanghai, dan Timur Laut membentuk "kostum hua dan asosiasi potong rambut". Mereka memotong biànzi dan mengadopsi pakaian tradisional Han. Ini dilakukan sebagai tindakan pemberontakan pragmatis.
Bahkan tentara Qing mengumumkan akan membuat semua pasukan mengadopsi rambut pendek pada tahun 1912. Ini merupakan salah satu upaya putus asa untuk memodernisasi kekaisaran dan mencegahnya jatuh lebih dalam ke jurang kehancuran. Namun, sebelum ini dapat diberlakukan, Revolusi Xinhai meletus.
Revolusi Xinhai dipimpin oleh perwira militer yang dengan antusias memotong kepang mereka sendiri. Di kota-kota seperti Nanchang, penguasa setempat menawarkan potongan rambut gratis kepada orang-orang biasa, disertai pesta kembang api.
Semua tindakan itu menjadi semakin lengkap dengan "Dekrit Pemotongan Rambut" Republik Tiongkok tahun 1912. Saat itu, kaum revolusioner secara paksa memotong kepang orang yang lewat di jalan. Pada tahun 1922, kaisar Qing terakhir, Puyi, memotong kepangnya sendiri atas dorongan guru Inggrisnya. Maka berakhirnya model rambut kontroversial yang menjadi simbol penindasan bagi sebagian orang Tionghoa.