Salah satu penjelasan atas tindakan Cornelisz adalah bahwa ia ingin merebut kapal penyelamat untuk dirinya sendiri dan kabur dengannya, menjarah perak yang ia selamatkan dari bangkai kapal.
Tak disangka, ulah barbarnya berbuah pahit. Salah satu kelompok yang dikirim ke pulau lain berhasil menemukan air bersih. Sesegera mereka mengirim sinyal asap.
Lagi-lagi, Cornelisz justru mengirim tentara untuk membunuh mereka, namun upayanya kali ini gagal. Ia mencoba bernegosiasi dengan kelompok tersebut, namun ia dikalahkan dan diikat di pulau itu.
Pada saat itu, Komandan Pelsaert tiba kembali di pulau dengan rombongan penyelamat. Salah satu dari para pria yang menangkap Cornelisz, mengadu pada Pelsaert bahwa ada sekelompok pria pembunuh di pulau lain. Segera Pelsaert menangkap mereka.
Baca Juga: Dari Meester Cornelis van Senen Jadi Kampung Senen dan Jatinegara
Baca Juga: Setangkai Payung Zaman VOC, Tudung Cerita Orang Eropa dan Budaknya
Baca Juga: Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia
Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia
Para pria itu mengaku telah melakukan kejahatan. Sebagai gantinya, mereka dihukum potong tangan dengan palu dan pahat sebelum dieksekusi di tiang gantung pada tanggal 2 Oktober 1629.
Pada tanggal 5 Oktober 1629, Pelsaert berlayar ke Batavia dengan para korban selamat yang tersisa.
Peristiwa ini telah didokumentasikan oleh Komandan Pelsaert dalam jurnalnya yang mencatat semua peristiwa seputar Batavia.
Seorang pendeta bernama Gijsbert Bastiaenz juga menyaksikan teror Cornelisz. Ia kehilangan istri serta anak-anaknya dalam pembantaiaan.
Satu-satunya yang berhasil hidup hanya putri sulungnya yang ditahan oleh anak buah Cornelisz dan berulang kali diperkosa. Bertahan dari cobaan itu, Bastiaenz menulis surat tentang pengalamannya yang mengerikan.
Kisah kapal Batavia menjadikanya sebagai salah satu tragedi maritim terburuk di era awal modern. Secara total, dua pertiga penumpang tewas atau terbunuh.