Pengkhianatan dan Pembantaian, Kisah Nestapa Pasca Karamnya Batavia

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 17 Maret 2023 | 07:00 WIB
Replika Batavia di laut di Markermeer selama pembuatan film (Wikimedia Commons / ADZee / Public Domain)

Alkisah, Pada tahun 1628, kapal unggulan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) yang bernama Batavia berangkat dari Belanda menuju tujuannya, namun sayangnya tidak pernah sampai.

Setelah delapan bulan dalam perjalanan, pada tanggal 4 Juni 1629, kapal tersebut terdampar di Houtman Abrolhos, sebuah gugusan pulau kecil di lepas pantai Australia Barat.

Apa yang terjadi selanjutnya dapat dianggap sebagai salah satu insiden paling tragis, menjijikkan, dan menakutkan dalam sejarah maritim awal modern. 

Saat kapal Batavia melakukan pelayaran perdananya. Berlayar dari Belanda menuju pangkalan perdagangan VOC di Batavia (sekarang Jakarta).

Kapal seberat 650 ton itu membawa kurang dari 350 tentara beserta keluarga mereka, pejabat VOC (termasuk istri dan anak mereka), koin perak, dan batu bata pasir. Rencananya ia akan kembali dengan rempah-rempah.

Namun, Batavia tidak pernah mencapai tujuannya. Angin kencang dan kurangnya pengetahuan tentang garis bujur, mengakibatkannya terlempar ke Morning Reef. Diperkirakan sebanyak 100 orang tewas saat kapal sepanjang 56 meter itu tenggelam.

Setelah kecelakaan itu terjadi, para korban diangkut ke Pulau Beacon menggunakan baik perahu besar maupun kecil. Pulau tersebut terletak dua kilometer dari tempat kecelakaan.

Francisco Pelsaert, Komandan armada, dan Kapten Batavia, Adriaen Jacobsz, memutuskan untuk berkemah. 

Sementara beberapa korban selamat termasuk Jeronimus Cornelisz (pejabat VOC) tinggal di reruntuhan kapal untuk mengamankan perbekalan apa pun yang dapat diselamatkan.

Dengan kondisi yang alami para korban selamat, sangat jelas mereka sangat membutuhkan banyak persediaan dan bantuan. Pulau Beacon yang tandus dan terisolasi, ditambah tidak ada makanan dan air mengalir, adalah mimpi buruk bagi mereka.

Pelsaert memutuskan untuk membawa banyak orang, termasuk Jacobsz, untuk mencari pulau-pulau di sekitarnya. Malang, mereka tidak menemukan apapun.

Akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan ke Batavia yang letaknya  sekitar 3.000 km jauhnya.

Cornelisz yang kala itu masih berada di puing-puing Batavia, memutuskan untuk menepi ke darat setelah reruntuhan kapal benar-benar hancur. Ia dan orang-orang selamat lainya memanfaatkan sisa-sisa kayu sebagai rakit.

Sesampainya di daratan, Cornelisz mengambil kendali atas kelompok orang yang selamat dengan menegaskan kekuasaannya. Pada titik ini, kondisi semakin memburuk bagi para korban selamat.

Cornelisz mengumpulkan semua persediaan makanan dan senjata yang tersisa, serta mengirim dua kelompok orang termasuk tentara ke pulau lain. Mereka diperintahkan untuk mencari air bersih dan mengirimkan sinyal asap ketika mereka berhasil.

Alih-alih memberikan misi, agaknya Cornelisz mengirim mereka ke pulau lain dengan harapan mereka akan mati. Hal ini memungkinkan Cornelisz untuk mengendalikan korban selamat tersisa yang akan dilemahkan karena persediaan makanan sangat minim.

Pembunuhan dan pembantaian

Pembantaian para penyintas – Bangkai Kapal Batavia, Gambar 3, dari cetakan potongan kayu asli, F. Pelsaert, F., & Vliet, J. (1647), Tot Amsterdam: Voor Jan Jansz. 1647. (Pelsaert, F., & Vliet, J.)

Cornelisz membentuk dewan yang menjadikan dirinya sendiri sebagai ketuanya. Mereka yang tersisa di kamp dikirim untuk tugas di atas rakit buatan tangan, lalu anak buah Cornelisz mendorong mereka ke laut.

Ia kemudian memerintahkan orang sakit dan lemah untuk dibunuh, bersama dengan wanita dan anak-anak.

Mereka melakukanya dengan keji, tenggorokan yang digorok saat tidur, serangan brutal, dan diracun. Beberapa wanita ditahan untuk diperkosa berulang kali oleh para pria.

Ketika salah satu kelompok yang dikirim ke sebuah pulau terlihat berkeliaran di garis pantai, Cornelisz mengirim orang untuk membunuh mereka.

Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa Cornelisz telah membunuh lebih dari 120 orang (ia sendiri tidak pernah terlibat secara fisik dalam pembunuhan tersebut).

Lantas apa sebenarnya motif Cornelisz, sehingga membuatnya bertindak kurang ajar? tak lain adalah kerakusannya.

Salah satu penjelasan atas tindakan Cornelisz adalah bahwa ia ingin merebut kapal penyelamat untuk dirinya sendiri dan kabur dengannya, menjarah perak yang ia selamatkan dari bangkai kapal.

Tak disangka, ulah barbarnya berbuah pahit. Salah satu kelompok yang dikirim ke pulau lain berhasil menemukan air bersih. Sesegera mereka mengirim sinyal asap.

Lagi-lagi, Cornelisz justru mengirim tentara untuk membunuh mereka, namun upayanya kali ini gagal. Ia mencoba bernegosiasi dengan kelompok tersebut, namun ia dikalahkan dan diikat di pulau itu.

Pada saat itu, Komandan Pelsaert tiba kembali di pulau dengan rombongan penyelamat. Salah satu dari para pria yang menangkap Cornelisz, mengadu pada Pelsaert bahwa ada sekelompok pria pembunuh di pulau lain. Segera Pelsaert menangkap mereka.

Baca Juga: Dari Meester Cornelis van Senen Jadi Kampung Senen dan Jatinegara

Baca Juga: Setangkai Payung Zaman VOC, Tudung Cerita Orang Eropa dan Budaknya

Baca Juga: Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia

Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia 

Para pria itu mengaku telah melakukan kejahatan. Sebagai gantinya, mereka dihukum potong tangan dengan palu dan pahat sebelum dieksekusi di tiang gantung pada tanggal 2 Oktober 1629.

Pada tanggal 5 Oktober 1629, Pelsaert berlayar ke Batavia dengan para korban selamat yang tersisa.

Peristiwa ini telah didokumentasikan oleh Komandan Pelsaert dalam jurnalnya yang mencatat semua peristiwa seputar Batavia.

Seorang pendeta bernama Gijsbert Bastiaenz juga menyaksikan teror Cornelisz. Ia kehilangan istri serta anak-anaknya dalam pembantaiaan.

Satu-satunya yang berhasil hidup hanya putri sulungnya yang ditahan oleh anak buah Cornelisz dan berulang kali diperkosa. Bertahan dari cobaan itu, Bastiaenz menulis surat tentang pengalamannya yang mengerikan.

Kisah kapal Batavia menjadikanya sebagai salah satu tragedi maritim terburuk di era awal modern. Secara total, dua pertiga penumpang tewas atau terbunuh.