Mengapa 'Hujan Bulan Juni' Sapardi Djoko Damono Begitu Populer?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 21 Maret 2023 | 16:00 WIB
Satrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono (1940-2020). Dia memiliki banyak puisi yang populer di kalangan pencinta sastra. Salah satunya 'Hujan Bulan Juni' yang begitu fenomenal. (Public Domain)

       

...

"Tak ada yang lebih arifdari hujan bulan junidibiarkannya yang tak terucapkandiserap akar pohon bunga itu"

Nationalgeographic.co.id—Itulah penggalan akhir dari puisi 'Hujan Bulan Juni' karya Sapardi Djoko Damono. Puisi itu ditulisnya tahun 1989, dan dijadikan sebagai judul buku antologi puisi. Banyak yang tergila-gila dengan kata-kata untaian Sapardi ini.

Meski Sapardi telah wafat 19 Juli 2020 silam, 'Hujan Bulan Juni' menjadi karyanya yang tidak lekang waktu dan yang paling terkenal. Puisi ini dibuat Sapardi berdasarkan pengalaman masa mudanya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam kenangannya, Juni adalah bulan bagi mahasiswa berlibur dan musim kemarau--tidak ada hujan yang turun.

"Tapi kemudian, setelah saya ke Jakarta, kok di bulan Juni malah hujan?" kata Sapardi dalam sebuah wawancara di Kumparan. "Kalau sekarang nggak masalah, ya. Juni juga hujan. Tapi dulu nggak pernah begitu." Kejanggalan itu pun ditulisnya sebagai puisi.

Walau pemilihan kata yang dipakai begitu indah dalam pelbagai puisinya, terutama 'Hujan Bulan Juni', Sapardi mengklaim penulisannya dilakukan secara tiba-tiba.

Akan tetapi, Sapardi bukan orang biasa yang iseng. Dia pernah menjadi pengajar di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Malang. Kemudian terlibat dalam penerbitan majalah sastra Horizon. Dia pernah menerjemahkan karya-karya sastrawan luar negeri seperti Lelaki Tua dan Laut (karya Ernest Hemingway).

Tahun 1974, Sapardi mengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan ditunjuk menjadi Dekan Fakultas Sastra UI periode (1995-1999). Singkatnya, ia sudah berkecimpung dan terlibat dalam penelitian dunia sastra.

"Ada banyak arti yang terkandung [dalam puisi 'Hujan Bulan Juni']," terang Deden Much. Darmadi dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dalam Jurnal Membaca Bahasa dan Sastra Indonesia. "Seperti yang kita ketahui bahwa bulan Juni adalah musim kemarau jadi puisi artinya menunggu. Itu menggambarkan seseorang yang menunggu orang yang dicintai."

Hal itu terungkap dalam struktur batin puisi 'Hujan Bulan Juni'. Temanya berisi penantian dengan personifikasi "hujan" dengan "tabah", "bijak", dan "arif". "Amanat yang muncul pada puisi ini adalah tidak ada yang tidak mungkin jika kita ingin berusaha. Sesungguhnya kekuatan cinta itu nyata," terang Deden.

Bait pertama dalam puisi 'Hujan Bulan Juni' karya Sapardi, menggambarkan ketabahan menanti seseorang yang terkasih. Kemudian didukung oleh bait kedua, menunggu dengan sifat bijak. Lalu yang ketiga, sikap arif dari sebuah penantian mencerminkan keikhlasan yang kelak akan berbuah manis, menurut Deden.

Alih-alih percintaan, puisi 'Hujan Bulan Juni', menurut Winarti dari Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, punya makna ilahiah. Ia menerangkannya dalam kumpulan jurnal dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Winarti menyebut Hujan Bulan Juni adalah tokoh yang sangat tabah daripada orang biasa. Sosok ini adalah perindu, tetapi pemalu, penyimpan rahasia yang hebat. "Selain sabar dan bijak, Hujan juga memiliki sifat arif. Tak ada satupun orang di dunia ini setabah, sebijak, dan searif Hujan," terangnya.

"Dalam hal arif, ia harus mengikhlaskan rindunya untuk dikembalikan kepada Tuhan dan alam. Ikhlas adalah keputusan final yang arif dalam menyimpan perasaan."

Baca Juga: Bagaimana Wajah Kota Jakarta di Mata Pujangga Chairil Anwar?

Baca Juga: Apa yang Dipesan Chairil Anwar Setibanya di Batavia?

Baca Juga: Iliad, Puisi Terpanjang di Dunia, dibacakan di London

Baca Juga: Karya Sastra Kasih Tak Sampai Berlatar Pabrik Tegel di Tepian Jalan Raya Pos

Dari dua pendapat tersebut tentang 'Hujan Bulan Juni', manakah yang benar? Sapardi tidak memakemkan arti pada puisinya. Dia justru mengatakan bahwa makna dan amanat puisi 'Hujan Bulan Juni' memang harus diburu pembaca. Sajak yang baik, menurutnya, yang mengundang banyak tafsir.

Sebenarnya, kekayaan arti tidak hanya pada 'Hujan Bulan Juni'. Banyak dari puisi Sapardi punya makna tentang percintaan, kehidupan, dan kedekatan manusia dengan Tuhan.

"Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ia­lah sebagai obyek pendukung imaji," tulisnya dalam Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan.

Namun, 'Hujan Bulan Juni' masih terus bergaung sebagai karya yang digemari banyak kalangan. Di luar kekayaannya makna, karya Sapardi satu ini ada di dalam berbagai bentuk: puisi, novel, musik, dan film. 

Ia membuat novel dengan tajuk yang sama pada tahun 1994, dan telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin. Novel itu kemudian dikemas dalam film disutradarai Hestu Saputra tahun 2017. Film ini bahkan menjadi nominasi di FFI (Festival Film Indonesia) pada 2018.

'Hujan Bulan Juni' pun dimusikalisasikan duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Judulnya pun dijadikan nama album mereka yang berisi musikalisasi puisi-puisi Sapardi lainnya.

Sapardi menegaskan dalam Alih Wahana, bahwa puisi tidak hanya dapat dinikmati di atas kertas dengan kata-kata indah. Jenis kesenian bisa dibentuk dalam jenis kesenian lain seperti fiksi, tari, drama atau film, lagu, bahkan lukisan.