Indonesia Masuk Sepuluh Besar Negara Pengimpor Sampah Plastik Global

By Utomo Priyambodo, Rabu, 22 Maret 2023 | 07:00 WIB
Sampah plastik merupakan salah satu jenis sampah yang memberikan ancaman serius terhadap lingkungan. (Unsplash/CC0 Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Di samping isu banyaknya pakaian bekas yang masuk ke Indonesia dan berpotensi menghancurkan industri pakaian lokal, sebenarnya ada isu lain yang lebih besar. Yakni masuknya sampah plastik ke Indonesia, dan ini juga lewat kegiatan impor.

Yang mungkin belum diketahui banyak orang Indonesia, negeri ini ternyata masuk dalam daftar sepuluh negara pengimpor sampah plastik terbanyak di dunia. Berada dalam peringkat ketujuh, Indonesia tercatat mengimpor sebanyak 233.926.536 kilogram sampah sepanjang tahun 2020.

Angka impor sekitar 234.000 ton sampah plastik ini ternyata jauh lebih besar jika dibandingkan dengan angka impor pakaian bekas ke Indonesia.

Selama sepuluh tahun, sejak 2013 hingga 2022, Indonesia telah mengimpor 870,4 ton baju bekas, berdasarkan data yang diperoleh dari laporan statistik impor Badan Pusat Statistik (BPS). Ini jauh lebih kecil dari angka impor sampah plastik tadi yang jarang dibahas para pejabat Indonesia.

Dikutip dari World Economic Forum, setiap tahunnya negara-negara di seluruh dunia menghasilkan sekitar 350 juta metrik ton sampah plastik. Ini setara dengan lebih dari 10 juta truk sampah bermuatan penuh.

Sebagian besar sampah plastik ini dibakar atau dikirim ke tempat pembuangan sampah, sehingga akhirnya mencemari udara, tanah, dan lautan kita. Hanya sebagian kecil dari limbah ini yang didaur ulang, kata Visual Capitalist, dan sekitar 2% diperdagangkan secara internasional.

Sebuah grafik dari Our World in Data, yang menggunakan data dari OECD dan UN Comtrade, mengungkap seberapa banyak sampah plastik yang diperdagangkan secara lintas negara. Grafik itu juga mengungkapkan negara mana saja yang diperkirakan mengekspor dan mengimpor sebagian besar sampah tersebut.

Sepuluh negara pengekspor sampah terbanyak di dunia, secara berurutan, adalah Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Italia, Slovenia, dan Austria. Mayoritas adalah negara-negara Eropa.

Adapun sepuluh negara pengimpor sampah terbanyak di dunia, secara berurutan, adalah Malaysia, Turki, Jerman, Vietnam, Belanda, Amerika Serikat, Indonesia, "Asia Lain", Polandia, dan Italia. Tiga negara Asia Tenggara masuk dalam daftar ini.

Tabel sepuluh besar negara pengimpor sampah plastik terbanyak di dunia. Indonesia jadi peringkat ketujuh. (Visual Capitalist)

Dengan ekspor limbah plastik yang dilaporkan mendekati empat juta metrik ton setahun, Eropa mengekspor hampir 80% limbah plastik yang diperdagangkan di dunia. Sebagian besar dilaporkan diekspor ke negara-negara Eropa lainnya.

Jerman, sebagai contoh, yang merupakan pengekspor sisa dan limbah plastik terbesar di dunia dengan 854 juta kilogram, bergantung terutama pada Belanda, Polandia, Austria, Swiss, Turki, dan Malaysia untuk mengelola limbah plastik ini.

Adapun ekspor plastik terbesar di Asia berasal dari Jepang, yang terutama berdagang dengan negara-negara Asia lainnya termasuk Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Korea. Pada tahun 2020, Jepang adalah pengekspor sampah plastik terbesar kedua di dunia dengan pengiriman 821 juta kilogram.

Pengekspor terbesar ketiga dalam daftar ini adalah Amerika Serikat. Negara ini diperkirakan telah mengekspor lebih dari 600 juta kilogram sampah plastik pada tahun 2020, dan sebagian besar diperdagangkan dengan Kanada, sebagian juga dikirim ke Meksiko, Malaysia, Vietnam, India, Hong Kong, dan india.

Dan sebagai pihak penerima, Malaysia dan Turki telah menjadi importir sampah plastik terbesar di dunia, terutama dari wilayah masing-masing.

Baca Juga: Kebanyakan Sampah Plastik di Pantai Afrika Ini Berasal dari Indonesia

Baca Juga: Memalukan, Jumlah Sampah Plastik dari Sungai-Sungai Jakarta Terungkap

Baca Juga: Tim Peneliti Belanda: Mangrove di Pesisir Jawa Dibekap Sampah Plastik

Sebelumnya hingga 2017, Tiongkok adalah salah satu importir limbah plastik terbesar di dunia, yang digunakan untuk industri manufakturnya. Pada tahun 2018, diberlakukan larangan impor pada 24 jenis limbah yang dapat didaur ulang sehingga impor limbah plastik mereka turun lebih dari 95% dalam setahun.

Pada tahun 2019, 187 negara menandatangani perjanjian internasional yang disebut Konvensi Basel tentang Kontrol Gerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya. Perjanjian ini untuk mengatasi kesenjangan dalam pembuangan limbah plastik.

Perjanjian ini membatasi negara-negara peserta untuk memperdagangkan sampah plastik secara internasional, kecuali negara tersebut tidak memiliki kapasitas daur ulang atau pembuangan yang memadai.

Selama satu dekade terakhir, perdagangan plastik global memang menurun drastis. Namun jutaan ton plastik masih dikirim lintas negara dan sebagian berakhir salah urus.

Sebagai contoh, hasil penelitian yang dirilis International Pollutants Elimination Network (IPEN) mengungkapkan kandungan dioksin dalam telur ayam di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo dan di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto, sangat tinggi.

Wilayah-wilayah tersebut menjadi penampung sampah plastik yang diimpor ke Indonesia bersamaan dengan impor limbah kertas.

Kandungan dioksin dalam telur ayam di wilayah itu ditemukan sebesar 200 piko gram per gram lemak. Angka itu melebihi standar yang ditetapkan Badan POM sekitar 0,5 piko gram per gram lemak.

Bahayanya, kandungan dioksin berlebih ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Di antaranya menganggu tumbuh kembang anak, terganggunya hormon atau mandul, hingga anak terlahir cacat.

Sebenarnya, impor sampah plastik bisa jadi menguntungkan. Misalnya saja, sebuah penelitian menemukan bahwa impor limbah plastik yang lebih tinggi berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi banyak negara berpenghasilan rendah, dalam kondisi yang tepat.

Namun, ketika negara-negara mengekspor plastik terkontaminasi yang tidak dapat digunakan dan tidak dapat didaur ulang, negara-negara berpenghasilan rendah ini bakal menanggung biaya ekosistem akhir masa pakai lebih besar daripada keuntungan finansial apa pun.