Arsitektur Masjid Córdoba: Simbolisme Islam-Kristen di Spanyol

By Galih Pranata, Kamis, 30 Maret 2023 | 10:00 WIB
Arsitektur megah nun menawan dari Masjid Agung Córdoba, menunjukkan perpaduan simbolisme Islam dan Kristen yang membentuk topologi masyarakat Andalusia (Spanyol). (paepdigital/Pixabay)

Nationalgeographic.co.id— Mezquita de Córdoba atau Masjid Agung Córdoba adalah monumen bersejarah yang menakjubkan bagi dua agama dan budaya yang telah membentuk Andalusia: Islam dan Kristen, selama berabad-abad silam.

Menariknya, masjid ini juga merupakan Katedral dalam peran Kristenisasi yang kuat di Andalusia (Spanyol). "Sebuah gereja Renaisans berjongkok tepat di atas apa yang dulunya merupakan masjid terpenting di kekhalifahan Islam," tulis Mark Nayler.

Ia menulisnya kepada Culture Trip dalam sebuah artikel berjudul A Brief History of the Mosque-Cathedral of Córdoba yang diterbitkan pada 10 Juli 2018. 

"Situs ini awalnya merupakan rumah bagi sebuah kuil Romawi, yang kemudian digantikan oleh gereja Kristen Visigoth," tambah Mark. 

Pada tahun 711, ketika bangsa Moor mengambil Andalusia dari orang-orang Kristen, bangunan Visigoth dibagi menjadi dua bagian dan digunakan sebagai tempat ibadah oleh umat Islam dan Kristen—sebuah rasa toleransi yang luar biasa.

Tetapi pemerintahan pluralisme agama di Córdoba tidak bertahan lama. Lantas, pada tahun 784, atas perintah Emir Abd al-Rahman, gereja dihancurkan dan pembangunan masjid besar dimulai.

Konstruksi berlangsung selama lebih dari dua abad. Ketika bangunan selesai pada tahun 987 dengan penambahan bagian tengah luar dan halaman, masjid Córdoba menjadi situs peribadatan terbesar di era kekaisaran Islam, kecuali Ka'bah di Arab.

Perpaduan gaya arsitektur Masjid-Katedral yang menghiasi sejarah panjang Masjid Agung Córdoba di Spanyol. (Waldomiguez/Pixabay)

Masjid Agung memiliki dua area berbeda: halaman atau "arcade sahn", di mana "alminar" (menara) dibangun (di bawah menara Renaisans) oleh Abd al-Rahman III, dan "haram" atau ruang salat.

Ruang interiornya terdiri dari hutan kolom dan lengkungan merah dan putih yang memberikan efek kromatik yang kuat. Situs ini dibagi menjadi 5 area berbeda, masing-masing sesuai dengan perluasan berbeda yang terjadi di sana.

Ketika konstruksi berada pada fase terakhirnya di akhir abad ke-10, kerajaan Islam—di bawah Kekhalifahan Omega—berada pada posisi terkuatnya. Setelahnya, konflik dengan orang-orang Kristen kembali terjadi.

Alhasil, pada 1236, Masjid Agung Córdoba direbut kembali oleh orang-orang Kristen. Raja Ferdinand III segera memerintahkan lentera masjid untuk diangkut kembali ke Santiago de Compostela, di mana lentera tersebut diubah kembali menjadi lonceng untuk katedral.

Monarki Kristen berikutnya mengubah dan menambah—tetapi tidak pernah menghancurkan—masjid, menghasilkan struktur hibrida yang tersisa.

Kemudian pada medio abad ke-13, Raja Alfonso X mulai mengawasi pembangunan Villaviciosa dan Kapel Kerajaan, di mana yang terakhir dibangun kembali oleh Henry II pada abad ke-14.

Lalu, memasuki abad ke-16, Charles V menambahkan nave besar Renaisans tepat di tengah mezquita—sebutan untuk masjid bagi orang-orang Andalusia. Namun, rupanya ia kecewa dengan hasil tersebut. 

Aspek masjid yang paling banyak difoto adalah aula utamanya yang luas, yang ditopang oleh lebih dari 850 tiang melengkung ganda.

Tidak menunjukkan rasa hormat terhadap nenek moyang mereka, bangsa Moor menjarah sisa-sisa Romawi dan Visigoth di situs itu untuk mendapatkan jasper, onyx, marmer, dan granit yang diperlukan untuk membangunnya.

Baca Juga: Mengapa Kekaisaran Ottoman Mengubah Hagia Sophia Menjadi Masjid?

Baca Juga: Jejak Mansa Musa: Muslim Kaya Mendirikan Masjid Lumpur yang Megah

Baca Juga: Upaya Pembakaran Ruang Publik hingga Masjid di Surakarta Tahun 1923

Baca Juga: Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan 

Bangsa Moor di awal abad ke-11, akan menggunakan bahan dari amfiteater besar Romawi di Malaga untuk membangunnya, sebagai benteng kota Alcazaba.

Fitur lengkungan ganda yang ikonik dan agak menghipnotis adalah hasil dari kebutuhan arsitektur, karena dengan kolom lengkung tunggal (tingginya sekitar tujuh atau delapan kaki) atap yang sangat besar akan terlalu rendah.

Sinar matahari dan bayangan yang menyinari bangunan ini akan menciptakan efek yang tidak biasa, merenungkan sejarah panjang penuh dengan konflik dan resistensi yang menyelimuti histori monumen suci nun megah ini.