Oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Urusan tenun ikat memang tidak selalu menjadi urusan kaum perempuan. Kita mengenal sederet nama desainer garda depan Indonesia yang konsisten memuliakan tenun ikat seperti Edward Hutabarat, Oscar Lawalata, sampai Didiet Maulana yang mendirikan lembaga Ikat Indonesia.
Nun jauh di timur sana, terdapat sosok pria yang juga sibuk mengurusi Tenun ikat. Ia adalah Kornelis Ndapakamang, 52 tahun. Ia tinggal di pelosok kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, tepatnya di kelurahan Lambanapu.
Di Sumba, mengerjakan tenun ikat pada awalnya tidak melibatkan laki-laki. Menurut Kornelis keterliban laki-laki dimulai sekitar tahun 1970-an.
“Keterlibatannya pada tahap yang terbatas,” demikian cerita Kornelis.
Proses membuat tenun ikat terdapat beberapa tahapan. Bermula dari mencari bahan pewarna, memintal kapas, mengurus benang-benang, mewarnai benang, membuat motif dan membuat ikatannya, mencelup benang dengan warna, menjemur benang, mesinkronkan antara benang dengan pola dan alat tenun, sampai pekerjaan menenunnya yang dilakukan perempuan.
Prosesnya panjang, lebih dari 50-an tahapan. Untuk membuat selembar kain tenun ikat memerlukan waktu berbulan-bulan!
Kaum lelaki biasanya terlibat dalam proses mencari akar pohon mengkudu untuk bahan pewarna alam sampai meraciknya untuk mewarnai benang. Ada lagi proses yang membutuhkan tenaga laki-laki, yaitu untuk mengikat benang.