Kornelis Ndapakamang: Mengikat Tenun Sambil Memberi Peluang Bumi

By National Geographic Indonesia, Jumat, 31 Maret 2023 | 12:00 WIB
Kornelis Ndapakamang, penggiat Tenun Ikat Pewarna Alami Sumba Timur. (Feri Latief)

 

    

Oleh Feri Latief

   

     

Nationalgeographic.co.id—Urusan tenun ikat memang tidak selalu menjadi urusan kaum perempuan. Kita mengenal sederet nama desainer garda depan Indonesia yang konsisten memuliakan tenun ikat seperti Edward Hutabarat, Oscar Lawalata, sampai Didiet Maulana yang mendirikan lembaga Ikat Indonesia.

Nun jauh di timur sana, terdapat sosok pria yang juga sibuk mengurusi Tenun ikat. Ia adalah Kornelis Ndapakamang, 52 tahun. Ia tinggal di pelosok kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, tepatnya di kelurahan Lambanapu.

Di Sumba, mengerjakan tenun ikat pada awalnya tidak melibatkan laki-laki. Menurut Kornelis keterliban laki-laki dimulai sekitar tahun 1970-an. 

“Keterlibatannya pada tahap yang terbatas,” demikian cerita Kornelis.

Proses membuat tenun ikat terdapat beberapa tahapan. Bermula dari mencari bahan pewarna, memintal kapas, mengurus benang-benang, mewarnai benang, membuat motif dan membuat ikatannya, mencelup benang dengan warna, menjemur benang, mesinkronkan antara benang dengan pola dan alat tenun, sampai pekerjaan menenunnya yang dilakukan perempuan.

Prosesnya panjang, lebih dari 50-an tahapan. Untuk membuat selembar kain tenun ikat memerlukan waktu berbulan-bulan! 

Ardiana Yoaawa dan Anita Kaitalepir (kiri-kanan), memanen daun indigo atau wuara yang akan digunakan sebagai bahan pewarna alam untuk Rumah Tenun Praikundu di Lambanapu, Sumba Timur. (Feri Latief)

Kaum lelaki biasanya terlibat dalam proses mencari akar pohon mengkudu untuk bahan pewarna alam sampai meraciknya untuk mewarnai benang. Ada lagi proses yang membutuhkan tenaga laki-laki, yaitu untuk mengikat benang. 

“Karena kalau tenaga perempuan ikatannya kurang kuat, bisa bocor saat pencelupan warna,” begitu penjelasannya. 

Sekarang, semakin banyak kaum lelaki yang terlibat dalam berbagai prosesnya. Beberapa pembuat motif tenun ikat di Sumba banyak dikerjakan kaum lelaki. Khusus untuk proses menenun hanya perempuan yang mengerjakan. 

Ardiana Yoaawa, Desmianti Kokurpandat, dan Anita Kaitalepir (kiri ke kanan), memproses daun indigo atau wuara untuk dijadikan pewarna alam. (Feri Latief)

Kornelis sendiri mulai terjun ke tenun ikat karena melanjutkan keahlian ibunya. Dari lima orang bersaudara, hanya dia yang memilih untuk wawarisi keahlian ibunya. Ia dekat dengan tenun ikat karena dari kecil sudah membantu ibunya dalam tahap-tahap membuat kain tenun.  Proses tahapan tenun ikat itu mencapai 50-an tahapan.

“Terutama tahap-tahap proses yang kita anak kecil bisa menjangkau, seperti menggulung benang,” lanjutnya.

Sayangnya, memintal kapas menjadi benang semakin langka di Sumba. Sudah jarang seniman tenun ikat seperti Kornelis ini menggunakan benang dari kapas. Sekarang benangnya beli di pabrik. Apabila ia menggunakan benang dari kapas, selembar kain bisa memakan waktu satu tahun pengerjaannya.

Ia ingat ketika kecil, tenun ikat hanyalah usaha sampingan, orangtuanya lebih fokus ke pertanian. Waktu itu pasar nasional belum banyak peminatnya, karena diproduksi untuk digunakan sendiri atau keperluan adat istiadat. 

Ia melihat tenun ikat pewarna alam ini sebagai peluang bisnis di tahun 1990-an, saat ia masih duduk di SMA kelas dua. Ada anggota beberapa lembaga swadaya masyarakat dari luar negeri berkunjung ke rumahnya dan membeli tenun ikat pewarna alam ibunya. Setelah itu Kornelis mulai berpikir untuk melanjutkan dan memperbesar usaha ibunya.

Ketika Kornelis selesai pendidikan SMA, ia tidak mau melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Dalam hati saya kalau kuliah pasti butuh uang, sebaiknya apa salahnya kalau uang itu dipergunakan untuk modal tenun ikat? Lebih baik saya melanjutkan usaha tenun ikat saja untuk mempertahankan tradisi itu,” kenangnya saat ia berani mengambil keputusan. 

Anita Kaitalepir mengaduk cairan fermentasi indigo atau wuara untuk dioksidasi, nama prosesnya dikebur. (Feri Latief)

Sejak 1994, ia membangun usaha tenun ikat pewarna alami. Dari ke tahun ke tahun perlahan-lahan ia terus membangun usahanya. Perlahan ia mulai dikenal para pecinta wastra tenun ikat pewarna alam.

Usahanya mulai meningkat pesat 20 tahun kemudian, yakni pada 2014. Ia pun semakin dikenal sebagai seniman tenun ikat pewarna alam.

Banyak undangan ditujukan kepadanya, baik sebagai pembicara atau ikut pameran dan berdagang ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Puncaknya pada 2017, ketika itu ia menghadiri dan terlibat dalam beragam kegiatan, dari pameran sampai membuat buku. 

Kornelis Ndapakamang memilah bahan pewarna alami dari tumbuhan. (Feri Latief)

Saat pandemi, selama dua tahun geliat tenun ikat menurun. Untungnya ada mesia sosial, sehingga ia masih bisa menjual tenun ikat.

“Sosial media punya peran besar meningkatkan penjualan saat pandemi,” tegasnya.

Kini kondisi berangsur normal kembali, dan tenun ikat kembali menggeliat. Sehari-hari ia memiliki kesibukan untuk membuat tenun ikat dan melayani tamu yang datang ke Sanggar Tenun Ikat Praikundu miliknya.

Mengenal pewarna bahan alam tenun ikat di Sumba Timur

Tenun ikat di Sumba Timur secara tradisi menggunakan dua warna utama, yaitu merah dan biru. Merah dalam bahasa lokalnya disebut kombu, sedangkan biru bahasa lokalnya kawuru dan Keduanya terbuat dari tumbuhan yang banyak terdapat di sana.

Kombu adalah bahasa lokal dari pohon mengkudu (Morinda citrifolia). Warna merah didapat dari akar pohon mengkudu. Para seniman tenun ikat Sumba mengenal berbagai jenis pohon mengkudu yang tumbuh di sana.

Ada kombu ahu, biasanya tumbuh di batu-batu di atas bukit yang gersang. Selain itu ada dua Jenis lagi; kombu anahida dan kombu rahang. Dua Jenis inilah yang digunakan untuk pewarna alam. Cirinya adalah berbuah hijau, berukuran kecil dan tidak mengkilat. Kulit batangnya tidak terlalu kasar.

Yang diambil adalah akarnya saja. Setiap pohon dipanen akarnya dua tahun sekali. Untuk itu para penggiat tenun ikat selalu menanam  banyak pohon kombu untuk persediaan bahan baku pewarna.

Kornelis memiliki kebun kombu khusus untuk persediaan bahan pewarna. Ada ratusan pohon mengkudu yang ia tanam. Dengan menanam pohon ia telah membantu mengurangi emisi karbon dan melestarikan tumbuhan lokal. 

Desmianti Kokurpandat menjemur benang yang sudah diberi pewarna indigo atau wuara. (Feri Latief)

Untuk menghasilkan warna merah, akar mengkudu dicacah lalu kemudian ditumbuk sampai halus. Ada satu bahan dari tumbuhan lagi fungsinya untuk memperkuat warna merah, yaitu dalam bahasa lokalnya disebut loba (Symplocos) tanaman endemik NTT.

Daun, kulit kayu atau dan akarnya dikeringkan. Lalu, materi itu ditumbuk sampai menjadi bubuk untuk dicampurkan ke akar mengkudu yang sudah dihaluskan . 

“Kalau tanpa loba kita tak bisa menghasilkan warna merah,” terang Kornelis. 

Semua campuran itu kemudian dicampur air yang kemudian menghasilkan cairan pewarna merah.

Untuk warna biru atau kawuru, Kornelis menggunakan tumbuhan tarum, nila atau Indigofera tinctoria atau dalam bahasa lokalnya adalah wuara. Prosesnya lebih panjang dibanding untuk pewarna merah.

Biasanya kaum perempuan yang memanen daun indigo. Setelah daun cukup terkumpul, lalu direndam air dalam sebuah wadah. 

“Daun direndam untuk difermentasi selama 18 sampai 24 jam”, jelas Kornelis. 

Semuanya tergantung cuaca, jika musim hujan dan udara dingin akan lebih lambat. Kalau musim kemarau dan udara panas akan semakin cepat.

Setelah semalaman direndam kemudian daunnya diperas dan ampasnya pun dikumpulkan untuk dijadikan kompos untuk menyuburkan kebun. 

Air rendaman daun indigo akan berwarna hijau, lalu dicampurkan dengan kapur bubuk. Kemudian diaduk untuk oksidasi, nama prosesnya dikebur.

Cara oksidasinya seperti membuat teh tarik, air rendaman di dalam ember diciduk menggunakan gayung lalu dimasukan lagi ke dalam ember. Pekerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang sehingga menghasilkan gelumbung-gelumbung udara. Cara lebih modern, tidak menggunakan ciduk lagi tapi pompa air.

Kornelis Ndapakamang mewarnai benang dengan bahan pewarna alami dari pohon mengkudu atau kombu. (Feri Latief)

Proses ini dilakukan sampai warna hijaunya menjadi biru. Lalu diendapkan lagi semalaman. Kapur yang mengikat pigmen dari indigo dan mengendap menjadi pasta indigo untuk bahan pewarna, sedangkan cairan lebihnya—cenderung bening dan encer—dibuang. 

Perpaduan dua warna, merah dan biru atau kombu dan kawuru atau inilah yang selalu ada dan menjadi dasar pewarnaan dalam kain tenun ikat Sumba Timur.

Untuk kepekatan warna diatur berapa kali benang dicelup ke cairan pewarna. Untuk menghasilkan warna merah yg kuat atau biru tua, benang akan dicelup berkali-kali sampai sesuai warna yang diinginkan.

Semakin banyak dicelup semakin pekat warna benangnya. Inilah teknik dasar membuat gradasi warna dari warna yang muda ke warna yang lebih pekat. 

Tenun ikat yang sudah dibuat dengan pewrna merahdisebut Hinggi Kombu, sedangkan yang biru  disebut Hinggi Kawuru. Jadi kalau jalan-jalan ke pasar dan membeli kain tenun ikat di Waingapu cukup sebutkan dua nama ini, ingin beli yang Kombu atau Kawuru

Proses panjang kain tenun ikat 

Kornelis bangga dengan tenun ikat Sumba yang indah. Selain itu tenun ikat adalah jati diri orang Sumba. Dari cara mengenakan kain tenun ikat sehari-hari akan menunjukan pemakainya dari daerah mana. Karena motifnya masing-masing berbeda dan mempunyai ciri khas tersendiri. Ada warna dan corak-corak yang tidak sama.

Ia tidak takut ditiru atau dijiplak motifnya, karena tidak akan pernah sama baik teknik pembuatannya atau pewarnaanya.

“Itu tidak menjadi masalah bagi saya, malah itu merupakan seuatu kekuatan. Karena orang akan mencari tahu yang asli bagaimana sebenarnya,” jelasnya percaya diri. 

Pengalamannya membuktikan orang semakin mencari tahu untuk datang ke tempatnya mencari tenun ikat Sumba yang asli.

Di Sumba Timur hanya 40 persen yang menggunakan warna alam. Dalam pembuatan lima lembar tenun ikat tenun ikat memerlukan waktu enam bulan. Sumber daya manusia 30 orang lebih. Karena ada 40 tahap, dan tiap tahapan ditangani oleh ahlinya masing-masing.

Banyak orang yang mendapatkan manfaat dari tenun ikat pewarna alam ini. Bahkan, termasuk orang yang tidak mempunyai tenun tetapi mempunyai lahan untuk ditanami tumbuhan untuk pewarna alam yang dijual kepada pembuat tenun. 

Ada juga orang yang bukan pembuat tenun ikat namun ia dibayar jasanya untuk menenun. Hitungan bayarannya berdasarkan jumlah kain yang ditenunnya.

Manfaat ekonomi juga sampai pada warga-warga di pegunungan menyediakan tumbuhan loba, tanaman endemik NTT sebagai penguat warna merah atau kombu. Bahkan, manfaat ekonomi itu sampai pada orang yang menyediakan kapur untuk bahan campuran indigo. Semua mendapat manfaat dari bahan pewarna alami.

Baca Juga: Sarung Sebagai Simbol Kekayaan Budaya Asia dari Masa ke Masa

Baca Juga: Ney Dinan: Jangan Sebut Tenun Manggarai Sebagai Tenun Labuan Bajo!

Baca Juga: Pameran Kain Ulos, Salah Satu Produk Peradaban Tertua di Asia

Baca Juga: Kisah Tenun dan Komunitas Lakoat Kujawas dari Desa Taiftob NTT 

Karena prosesnya yang panjang dan rumit—serta melibatkan banyak sumber daya manusia dan jam kerja—tak heran kain tenun ikat Sumba pewarna alami yang asli dinilai sampai jutaan rupiah. Anda harus merogoh kantong lebih dalam jika ingin membelinya, dan itu harga yang pantas!

Ikut Memberi Peluang Bumi untuk Lestari

Para penggiat tenun ikat tetap konsisten menggunakan pewarna alam karna itu adalah ilmu turun temurun dari nenek moyang mereka. Selain itu bahan baku cukup tersedia dan tidak terlalu rumit dibudidayakan. Banyak tumbuhan mengkudu dan indigo yang ditanam warga.

Faktor lain yang turut membuat para penggiat tetap setia pada pewarna alam adalah: banyak pelanggan dan pecinta wastra yang peduli ramah lingkungandan memilih pewarna alam. Semakin hari semakin banyak pelanggan yang mencari tenun ikat dengan pewarna alam.

Kornelis Ndapakamang dengan hasil tenun ikat pewarna alaminya. (Feri Latief)

Kornelis ingin makin banyak para penggiat tenun ikat yang menggunakan pewarna alam. Apabila tidak digunakan lagi, maka pewarna alam ini akan punah. Padahal semua ilmu dan istilah pewarnaan dalam tradisi tenun ikat berasal dari pewarnaan alam. Artinya warisan nenek moyang yang sangat berharga bagi pelestarian lingkungan ini juga ikut hilang!

Ia khawatir semua akan punah sehingga berharap makin banyak makin banyak warga yang membudidayakan tanaman pewarna. 

Selain tradisi turun-temurun dari nenek moyang dan alasan ekonomi, adakah hal lain yang membuatnya bertahan menggunakan pewarna alam? 

Kornelis tegas ia menjawab, “Ketika kita menanam kita sudah ikut merawat bumi!”