Isu Palestina yang Membuat Sultan Abdülhamid II Kehilangan Takhta

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 2 April 2023 | 09:00 WIB
Sekelompok tentara Ottoman dan negarawan di Yerusalem. (Daily Sabah)

Nationalgeographic.co.id - Orang-orang Yahudi menyebar ke seluruh dunia setelah Romawi membakar Yerusalem pada tahun 70 M. Mereka harus menanggung siksaan ke mana pun mereka pergi.

Sejak saat itu, mereka menantikan seorang juru selamat, seorang mesias, yang akan mengumpulkan mereka di bawah satu negara. Karena kedatangan mesias yang telah lama ditunggu-tunggu ini tertunda, beberapa idealis Yahudi memobilisasi untuk mendirikan sebuah negara Israel.

Kelompok yang berkumpul di Basel, Swiss, pada tahun 1897 ini disebut Zionis, yang diambil dari nama Gunung Sion, tempat berdirinya Beth ha-Mikdas (Masjid Al-Aqsa) milik Nabi Sulaiman.

Tanah yang dijanjikan

Zionis meminta bantuan Kerajaan Inggris, yang merupakan negara paling kuat pada saat itu, tetapi tuntutan mereka tidak ditanggapi dengan serius.

Seiring berjalannya waktu, kerajaan menyadari bahwa gerakan Yahudi ini semakin kuat dan menawarkan wilayah-wilayah seperti Uganda, Siberia, dan Siprus, tetapi mereka tidak menyetujuinya.

Mereka menginginkan Palestina, rumah bagi ratusan ribu orang Arab, yang merupakan tanah yang dijanjikan seperti disebutkan dalam Taurat.

Tak tinggal diam, Kekaisaran Ottoman mengambil beberapa tindakan pencegahan terhadap gerakan yang mengancam integritas teritorialnya ini.

Pada tahun 1871, jauh sebelum Zionis beraksi, Ottoman mendeklarasikan 80 persen wilayah Palestina sebagai milik negara. Setelah suksesi Sultan Abdülhamid II, ia meningkatkan langkah-langkah pencegahan terhadap permukiman Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1883, ia membatasi akuisisi tanah Palestina dan memutuskan untuk mengambil sendiri wilayah strategis tersebut.

Pada tahun 1900, Sultan Abdülhamid II membatasi masa tinggal orang Yahudi di wilayah Palestina selama 30 hari. Ia juga melarang akuisisi wilayah untuk orang Yahudi asing di Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina.

Ia menyatakan bahwa Kekaisaran Ottoman bukanlah wilayah pemukiman bagi orang-orang yang diasingkan dari Eropa.