Kisah Toregene dan Wanita Hebat Lain yang Memimpin Kekaisaran Mongol

By Sysilia Tanhati, Kamis, 13 April 2023 | 15:00 WIB
Kisah tentang Toregene dan wanita Kekaisaran Mongol yang memimpin kekaisaran dan berjuang jarang terdengar. Mereka berhasil membawa kemakmuran bagi rakyat di kekaisaran. (Rashid al-Din - Rashid al-Din)

Uniknya, para penguasa wanita di Kekaisaran Mongol itu tidak ada yang terlahir sebagai orang Mongol. Mereka menikah dengan orang Mongol. Selain Fatima, sebagian besar wanita penguasa itu beragama Kristen. Di dunia Mongol, baik jenis kelamin maupun agama tidak menghalangi perempuan-perempuan ini naik ke tampuk kekuasaan.

Toregene menyerahkan kekuasaan kepada putranya yang tidak kompeten Guyuk pada tahun 1246. Namun dalam waktu 18 bulan, Guyuk meninggal dan tidak diketahui penyebabnya. Dalam perjuangan politik yang berkelanjutan di pusat kekaisaran, wilayah pinggiran mulai terurai.

Penulis sejarah Juvaini menggambarkan Mongolia berada dalam kegelapan. Rakyat mengalami kebingungan, apakah harus tetap tinggal di kekaisaran atau pergi.

Setelah pemerintahan singkat Guyuk, sudah waktunya bagi seorang wanita — jandanya Oghul Ghamish — untuk mengambil kendali kekaisaran. Ia mengikuti jejak ibu mertuanya Toregene satu dekade sebelumnya.

Namun, wanita kuat lainnya di kekaisaran — Sorhokhtani — dengan cepat menentang kekuasaannya. Sorhokhtani mengorganisir kampanye pemilihan putranya untuk jabatan Khan Agung. Ia mendapat dukungan penuh dari keempat putranya yang cakap dan persiapan serta penantian seumur hidup untuk meraih kekuasaan.

Pada tanggal 1 Juli 1251, kerumunan orang Mongol yang berkumpul mengumumkan pemilihan putranya, Mongke yang berusia 43 tahun.

Genghis Khan memiliki anak laki-laki yang relatif lemah, pemabuk, dan egois. Namun lain halnya dengan Sorkhokhtani. Ia berhasil menduduk empat anak laki-laki yang ditakdirkan untuk melakukan hal besar dalam sejarah.

Setiap putranya adalah seorang khan. Di tahun-tahun mendatang, Mongke, Arik Boke, dan Kubilai, semuanya akan menyandang gelar Khan Agung. Sedangkan putranya yang lain, Hulegu, menjadi penakluk Baghdad dan mendirikan dinasti baru Ilkhante Persia.

Para wanita Mongol menghadirkan pemandangan aneh pada peradaban yang mereka bantu taklukkan. Mereka menunggang kuda, menembakkan anak panah dan memerintah pria dan wanita.

Di Tiongkok, wanita Mongol menolak pengikatan kaki. Mereka juga menolak untuk memakai cadar.

Namun, segera setelah menetap di tanah yang baru ditaklukkan, wanita Mongol kehilangan kekuasaan publik. Hanya di Mongolia mereka terus memerintah dan berperang.

Sementara Kubilai Khan memerintah dari ibu kota Tiongkok, sepupunya Khaidu terus berperang melawannya dari Asia Tengah. Dan sesuai dengan tradisi Mongol, putri Khaidu bertempur bersamanya.