Nasi kolo adalah menu yang selalu hadir di atas piring makan saya. Nasi bakar dibungkus bambu muda dan kedua ujungnya ditutup daun enau. Dibakarnya pun menggunakan tungku api, menimbulkan aroma asap kayu bakar yang khas. Wangi dan amat lezat.
Pada suatu siang saya berkunjung ke Rumah Tenun Baku Peduli. Henny Dinan, pengampu rumah tenun, seketika tersenyum melihat kedatangan saya. Ia mengajak saya menongkrong di tempat pewarnaan benang. Benang yang telah dicelup ke pewarna dan telah kering, digantung rapi di sepasang bilah bambu.
Secara fisik, rumah tenun menjadi tempat produksi dan galeri penjualan kain tenun. Namun, “selain melanjutkan warisan pengetahuan keterampilan keluarga, yang kami lakukan di sini bukan hanya tentang mengolah kain, tapi juga terkait dengan pewarna, lingkungan, dan merawat pengetahuan itu sendiri,” terang Henny kepada saya. Ia dan teman-temannya mengumpulkan kembali cerita tenun.
“Kami bikin riset periodisasi kain dari tahun ke tahun, lalu kami membuat ulang kain tersebut. Dengan cara begitu, orang bisa melihat transisi desain kain itu seperti apa yang jejaknya sekarang sudah tidak ada,” jelasnya. Cerita-cerita ini perlu dihidupkan untuk melawan narasi keliru yang beredar, seperti tidak pernah adanya tenun Labuan Bajo, yang ada tenun Manggarai.
Baca Juga: Apakah Manusia Purba Homo floresiensis Masih Hidup di Indonesia?
Baca Juga: Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores Lewat Selayar
Baca Juga: Singkap Musik Beghu yang Sakral dan Tersembunyi di Pedalaman Flores
Baca Juga: Janji Bagi Nusa Bunga
Sepanjang 2012–2016, program mereka adalah pemberdayaan perempuan dengan menambah pengetahuan mereka tentang kombinasi benang, pengadaan benang, dan penjualan.
“Pewarna alam identik dengan alam itu sendiri,” jelas Ney, panggilan akrabnya. “Bagaimana kita melakukan pewarnaan alam kalau hutan alam tidak ada?” tanyanya. “Beberapa pewarna bisa dibudidayakan. Indigo, kapas, mengkudu, semua bisa ditanam sendiri. Tapi pohon Loba itu tidak bisa kita budidayakan, dan alam sendiri yang menentukan di mana tempat dia seharusnya tumbuh,” ungkapnya.
Sejatinya, tenun bukan hanya sekadar selembar kain, tetapi ada filosofi yang dalam di sana. Belajar tentang pewarnaan, artinya kita sedang belajar tentang alam semesta.