Teks dan foto oleh Valentino Luis
Nationalgeographic.co.id—Bahana tepukan tangan para penumpang memungkasi manuver penerbangan di langit Danau Kelimutu. Perlahan telaga biru, hijau, dan hitam itu pun menghilang dari bingkai jendela pesawat. Wajah-wajah memamerkan rona suka cita setelah atraksi gravitasi sang pilot. Sebuah kejutan yang jarang terjadi. Tanpa sadar, bulir cahar bening merembes dari dua sudut mata saya. Tidak, saya tidak sedang dirundung melankolia karena meninggalkan keluarga atau tanah leluhur. Sebaliknya, saya diliputi kebanggaan serta ketetapan hati. Saya semakin tahu jati diri.
Keluarga kakek dari pihak ayah berasal dari Ende, Flores bagian tengah. Ayah sering berkisah tentang masa remajanya di sana dan tak lupa mengingatkan saya agar melihat kota yang pernah didiami Soekarno pada masa penjajahan Belanda tersebut sebagai akar saya. “Nama Luis yang kau sandang itu adalah penghormatan untuk kakekmu. Kau orang Ende, penjunjung mahkota Flores,” begitu katanya. Yang dimaksud “mahkota Flores” oleh ayah tak lain Danau Kelimutu yang keelokannya telah menjagat itu.
Tetapi ayah tak hanya memegahkan Ende saja, ia juga punya segudang cerita lain mengenai Flores. Tentang kampung tradisional favoritnya yang berdekatan dengan sungai berair panas di Bajawa, penggembalaan kuda di padang sabana Nagekeo, biawak komodo nan legendaris, sawah berbentuk sarang laba-laba Manggarai, prosesi religius warisan bangsa Portugis yang lestari di Larantuka, dan perburuan paus oleh penduduk Lamalera. Jika saya runut, ayah seperti membuat daftar Tujuh Keajaiban Dunia versinya sendiri. Lima tahun lalu, ketika tabungan cukup untuk mengongkosi sebuah perjalanan panjang, saya memutuskan untuk berkeliling Flores. Sendirian.
Alih-alih terbang langsung menemui keluarga di Ende, saya memilih merambah Flores dari ujung barat terlebih dahulu. Berawal dari Labuan Bajo, di mana serakan beragam pulau kecil mengapung berbibir pasir putih sudah menggoda di menitmenit menjelang pendaratan.
Baca Juga: Pata Déla: Pedoman dalam Hidup Bersama dari Para Leluhur di Bajawa
Labuan Bajo cukup berisik, jadi saya cepat-cepat menuju Kanawa. Pulau mungil di pintu area Taman Nasional Komodo ini ibarat tempat pelarian yang elok. Saya mengetahuinya secara tak sengaja, menguping percakapan pejalan asing di pesawat. Ternyata, komodo si satwa purba butuh rehat panjang setelah bertarung. Kondisi itu kami manfaatkan untuk mengelus-elus tubuh liatnya nan bersisik. Sebuah pengalaman mendebarkan!
Saya melanjutkan perjalanan ke Bajawa dengan singgah semalam di Ruteng. Flores itu bergunung-gunung (satu kabupaten bahkan bisa memiliki tiga gunung berapi aktif—saat ini Flores dan kepulauannya terbagi atas Sembilan kabupaten dan 13 gunung berapi aktif), jalan rayanya didominasi begitu banyak kelokan. Untuk ekplorasi kendara, saya berani jamin mata terus melek oleh variasi panoramanya. Sawah-sawah berbentuk sarang laba-laba alias spider web fields saya jumpai sepanjang jalan menuju Ruteng. Masyarakat setempat menyebutnya lingko, berfalsafah tinggi yakni bahwa kehidupan selalu dimulai dari satu titik, dari sanalah berkembang menjadi besar. Lingko juga mengisyaratkan keadilan dalam kebersamaan.
Di Bajawa yang berhawa dingin saya menikmati berendam di sungai air panas Mangeruda. Sebelumnya saya belum pernah mengalami hal ini: berada di tengah hutan asri dan dikepung uap air yang membumbung. Rasanya seperti di taman surga saja. Kopi asli Bajawa yang dibilang satu dari kopi terbaik se-Indonesia menyempurnakan hari di tengah-tengah kampung tradisional ini.
Ayah mewariskan kegemarannya terhadap kuda kepada saya. Dan saya berjanji memotret kuda berlatar belakang perbukitan sabana di Nagekeo. Saya menyewa sepeda motor tetapi kondisi jalan dari Bajawa ke sana tak seindah vista yang terpampang sepanjang rute. Anehnya, kondisi ini justru membuncahkan bermacam pemikiran gemilang di otak. Saya baru menyadari kemudian, model perjalanan macam inilah yang dirindukan para petualang: lanskap lengang tanpa hiruk pikuk, debu kerikil mengambang di jalan yang robek tetapi lurus, ilalang menari dibuai angin, dan pohon yang tumbuh jarang-jarang di dataran antara bukit berilalang. Ayah mendeskripsikan tanah kelahirannya dengan tepat, Flores itu berwajah seribu, dalam sehari saya bisa melalui rimba yang menyembunyikan cakrawala juga perbukitan yang menadah sengatan sang surya tanpa payung.
Baca Juga: Di Bawah Duli Senhor Sikka
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR