Sederet Kebiasaan Aneh yang Dianggap Normal di Kekaisaran Bizantium

By Sysilia Tanhati, Jumat, 7 April 2023 | 14:00 WIB
Beragam kebiasaan aneh dilakukan di Kekaisaran Bizantium. Seperti mutilasi sampai budak seks. (Petar Milošević)

Nationalgeographic.co.id—Kaisar Romawi Konstantinus mendirikan Roma Baru di situs koloni Yunani kuno Bizantium pada tahun 330 Masehi. Ini menjadi awal mula dari apa yang kemudian menjadi Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur. Sebagai kekaisaran yang kuat, Bizantium memiliki banyak catatan sejarah menarik. Salah satunya adalah soal kebiasaan unik di Kekaisaran Bizantium yang mungkin dianggap aneh di zaman sekarang.

Ada banyak kisah pembunuhan Kaisar Bizantium

Banyak kaisar Bizantium menemui jalan buntu karena rakyat percaya bahwa penguasa yang tidak populer dapat digulingkan kapan saja. Saat bersantai di bak mandi, Konstantinus II dibunuh dengan cara dipukul kepalanya dengan tempat sabun. Tangan Michael III terpotong saat dia mencoba mengelakkan pisau.

Setelah diberitahu tentang persekongkolan, Nikephoros Phokas memerintahkan penggeledahan di istana. Namun, para pembunuh berlindung di kamar tidur istri raja, yang tidak berani dimasuki oleh penjaga mana pun. Malam itu, mereka membunuhnya dengan tikaman.

Ritus pengebirian

Sebagai jenderal, pendeta, dan pegawai istana, kasim sangat diperlukan di Kekaisaran Bizantium. Karena tidak memiliki calon ahli waris, kasim dianggap tidak berbahaya.

John Orphanotrophos adalah kasim yang menjadi terkenal karena menggunakan koneksi saudaranya untuk naik pangkat dan berkuasa. “Ia adalah kasim kepala istana,” tulis Sal di laman Medium. Ketika John menjadi terkenal, seorang kaisar yang khawatir mengebirinya dan membuang seluruh keluarganya ke negeri yang jauh.

Praktik pengebirian secara teoritis dilarang di dalam kekaisaran. Dengan demikian, banyak anak laki-laki di luar kekaisaran diculik, dibawa sebagai budak, dan dikebiri saat tiba. (Wikipedia)

Praktik pengebirian secara teoritis dilarang di dalam kekaisaran. Dengan demikian, banyak anak laki-laki di luar kekaisaran diculik, dibawa sebagai budak, dan dikebiri saat tiba. Di sisi lain, bukan hal yang aneh bagi orang tua Bizantium yang miskin untuk mengebiri putra mereka. Harapan mereka, sang putra bisa mencapai posisi yang menguntungkan di istana suatu hari nanti.

Perang saudara tiada henti

Leo orang Armenia, Michael orang Amori, dan Thomas orang Slavia mendorong Michael I untuk turun takhta dari posisinya sebagai kaisar pada abad ke-9. Setelah Leo dan Michael berselisih, para pendukung Amori membunuhnya selama kebaktian Natal dengan pisau.

Thomas Slav memberontak melawan Michael, memicu perang saudara besar. Perang ini turut melemahkan kekaisaran secara signifikan dalam perjuangannya melawan orang Arab.

Masalah serupa terjadi pada abad ke-10 ketika Jenderal Bardas Skleros menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Bardas Phokas. Skleros menghasut pemberontakannya sendiri setelah kasim Basil Lekapenos berkomplot melawannya.

Untuk menanggapinya, Lekapenos mengeluarkan Phokas dari penjara dan menempatkannya sebagai penanggung jawab perlawanan terhadap Skleros. Phokas menyingkirkan Skleros dan pasukannya dalam satu konfrontasi. Phokas, Skleros, dan Lekapenos bersatu untuk melawan Basil muda. Seperti yang sering terjadi, perselisihan internal dengan cepat menyebabkan kejatuhan mereka. Basil pun akhirnya naik ke tampuk kekuasaan.

Di kemudian hari, dia menjadi terkenal dengan membutakan ribuan narapidana dan mengembalikan mereka ke Bulgaria.

Mutilasi untuk menyingkirkan lawan yang kuat

Calon takhta yang cacat dianggap tidak layak oleh Kekaisaran Bizantium. Oleh karena itu, para penguasa sering memutilasi musuh mereka alih-alih membunuhnya. “Beberapa bentuk penyiksaan yang umum termasuk membutakan, mengamputasi, dan memotong hidung dan lidah,” kata Sal.

Pengebirian mendominasi praktik mutilasi ini. Mutilasi dipandang sebagai alternatif eksekusi yang lebih manusiawi. Misalnya karena dibuat buta pada usia 20 tahun, John IV Laskaris hidup 40 tahun kemudian.

Meskipun demikian, mutilasi adalah bentuk kekerasan yang keji. Untuk menghukum putranya yang membangkang, Permaisuri Irene membutakannya di ruangan yang sama tempat dia dilahirkan. Beberapa saat kemudian, pemuda itu meninggal karena luka-lukanya.

Warna ungu dianggap sebagai warna kekaisaran

Untuk waktu yang lama, Kekaisaran Bizantium menetapkan warna ungu sebagai warna kekaisaran. Oleh sebab itu, kaisar membatasi penggunaan beberapa pewarna ungu hanya untuk keluarga kerajaan. Kaisar akhirnya memiliki kamar unik yang dibangun dengan dinding batu ungu yang langka. Anak-anak kaisar yang lahir di ruangan ini dikenal sebagai porphyrogennetos.

Balap kereta yang berisiko

Meski tinggal di kota metropolis terbesar di dunia kuno, penduduk Konstantinopel sering menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan. Contoh yang paling terkenal adalah ketika pendukung tim balap kereta biru dan hijau bersatu untuk melakukan kerusuhan melawan Justinianus I.

Kaisar siap untuk turun takhta. Namun istrinya, Theodora, menyatakan bahwa dia lebih memilih kematian sebagai permaisuri daripada hidup sebagai orang biasa. Akibatnya, para pemberontak dibunuh tanpa ampun.

Kaisar tanpa hidung dengan lidah cacat

Pemerintahan Justianus II yang mengerikan berakhir pada tahun 695 Masehi. Sebelum membuangnya ke Krimea, para pemberontak memotong hidungnya dan memotong lidahnya menjadi dua. Alih-alih menyerah, Justinian melarikan diri ke tanah air Khazar dan segera mulai merencanakan untuk merebut kembali kekuasaannya.

Baca Juga: Mengapa Arsitektur Hagia Sophia dan Masjid Biru Terlihat Kembar?

Baca Juga: Daftar Pencapaian Kaisar Konstantinus Agung dari Kekaisaran Bizantium

Baca Juga: Peran Penting Tembok Theodosian di Masa Kekaisaran Bizantium

Baca Juga: Peran Penting Tembok Theodosian di Masa Kekaisaran Bizantium

Baca Juga: Jejak Keganasan Bangsa Viking Menjadi Tentara Bayaran Bizantium 

Ia akhirnya membalas dendam yang mengerikan pada musuh-musuhnya. Setelah merebut kembali takhta, Justianus II memerintah selama 6 tahun lagi berikutnya. Namun karena lidahnya dimutilasi, ia harus dibantu oleh seorang penerjemah untuk menyampaikan maksudnya. Kekerasannya yang tak henti-hentinya menyebabkan penggulingannya yang kedua pada tahun 711. Kali ini, Justianus dibunuh agar tidak bisa merebut takhta lagi.

Budak seks

“Karena penampilannya yang muda, para kasim diduga dimanfaatkan secara luas sebagai budak seks,” ujar Sal. Secara resmi, ini dilarang, tetapi gereja berjuang untuk menemukan cara untuk menghentikannya tanpa juga mencela perbudakan dan kaisar.

The Life of St Andrew the Fool, yang ditulis pada abad ke-10, mengilustrasikan masalah ini dan meletakkan tanggung jawabnya tepat pada para kasim.

Jika seorang budak gagal untuk mematuhinya, ia akan menderita karena disiksa. Para budak diberkati tiga kali jika mereka menolak untuk tunduk pada dorongan keji tuan mereka. Pasalnya, karena siksaan mengerikan, mereka akan diperhitungkan sebagai martir.

Sebagian kebiasaan yang kita anggap aneh, dipandang biasa bila dilakukan di masa Kekaisaran Bizantium. Bayangkan saja jika mutilasi dianggap normal untuk menyingkirkan musuh atau lawan di zaman modern.