Kisah Hidup nan Memilukan Deokhye, Putri Terakhir Kekaisaran Korea

By Sysilia Tanhati, Kamis, 13 April 2023 | 08:00 WIB
Deokhye adalah putri terakhir dari Kekaisaran Korea atau Dinasti Joseon. Terlahir sebagai keluarga kerajaan, ia justru menjalani kehidupan yang memilukan. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—16 Januari 1962, seorang wanita paruh baya melangkah keluar dari pesawat di Korea Selatan. Ia dikelilingi oleh wartawan, perawatnya membantunya menuruni tangga. Tatapan matanya tampak kosong. Wanita itu sama sekali tidak berbicara kepada wartawan yang menghujaninya dengan foto dan pertanyaan. Ia adalah Deokhye, putri terakhir dari Kekaisaran Korea atau Dinasti Joseon. Terlahir sebagai keluarga kerajaan, ia justru menjalani kehidupan yang memilukan.

Judul berita hari itu berbunyi: “Putri Deokhye Kembali ke Rumah, Segera Dirawat di Rumah Sakit Universitas”. Putri Deokye, pada usia 50 tahun, akhirnya kembali ke rumah setelah 38 tahun tinggal di Jepang.

Tahun-tahun awal kehidupan Putri Deokhye

Putri Kaisar Gojong, kaisar kedua terakhir Dinasti Joseon, lahir pada tahun 1912. Putri Deokhye adalah putri kesayangan banyak anggota keluarga kekaisaran, termasuk ayahnya.

Meskipun Dinasti Joseon atau Kekaisaran Korea sudah dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1910, dia menjalani tahun-tahun yang nyaman di Seoul. Saat itu Jepang menjanjikan keamanan dan status untuk keluarga Kekaisaran Korean. Sang putri sempat menjalani kehidupan prasekolah dan sekolah dasar di Seoul. “Ia dikenang sebagai siswa yang cerdas dan ramah,” tulis Daniel Choi di laman Medium.

Hidupnya menjadi berantakan pada tahun 1925 ketika ayahnya meninggal. Kematian kaisar berarti kesedihan nasional bagi rakyat Korea. Namun secara khusus, peristiwa itu memengaruhi kesehatan mental sang putri.

Jepang hanya menjaga keutuhan keluarga kekaisaran karena takut akan pemberontakan dari Korea jika mereka membunuhnya. Setelah kematian Kaisar Gojong, kepala keluarga kekaisaran, tidak ada lagi anggota keluarga yang perlu dilindungi oleh Jepang.

Segera setelah kematian ayahnya, Deokhye pindah ke Jepang sebagai bagian dari rencana kolonialis untuk menghilangkan semua pengaruh Kekaisaran Korea. Jepang memaksa banyak anggota keluarga Kekaisaran Korea untuk pindah ke Jepang. Tidak hanya itu, mereka dipaksa untuk menjadi orang Jepang. Tujuannya adalah untuk mendorong orang Korea lainnya berasimilasi.

Pada usia 13 tahun, Deokhye dipindahkan ke Jepang, jauh dari ibunya. Di sana, ia mendaftar di sekolah menengah khusus wanita. Deokhye remaja selalu takut dibunuh dan kerap membawa botol airnya sendiri untuk menghindari keracunan. “Teman sekelasnya mengingatnya sebagai seseorang yang sangat pendiam dan murung,” tambah Choi. Hidupnya di Jepang penuh dengan ketakutan dan ketidaktahuan.

Kehidupan Putri Deokhye semakin parah ketika berita kematian ibunya tiba pada tahun 1929.

Alami depresi setelah kematian sang ibu

Setelah mendengar kematian ibunya, Deokhye dilanda depresi. Ia tidak meninggalkan kamarnya selama berhari-hari, menolak makan atau berbicara dengan siapa pun. Menurut pamannya, dia menderita insomnia dan kerap berjalan dalam tidur. Sang putri mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan mental dan dibawa ke psikiater. Di sana, dia didiagnosis menderita demensia prekoks atau skizofrenia.

Ia mengalami disintegrasi kognitif yang cepat dan delusi. Diperkirakan kematian ibunya memicu berkembangnya kondisi ini.

Putri Deokhye dinikahkan dengan bangsawan Jepang

Sebagai bagian dari rencana kolonialis untuk mengasimilasi keluarga kekaisaran, pemerintah Jepang menikahkan sang putri dengan seorang bangsawan Jepang. Suaminya bernama Takeyuki So, yang merupakan seorang penyair.

Pada usianya yang baru 19 tahun, dia menikah dengan bangsawan itu. Pernikahannya memenuhi rencana pemerintah kolonialis Jepang untuk melanjutkan propaganda mereka. Selama dan sebelum pernikahan mereka, gejala skizofrenia tampak membaik. Namun, dalam setahun, kondisinya makin memburuk.

Pasangan itu memiliki seorang putri bernama Masae pada tahun 1932, sementara kondisinya masih belum terlalu parah. Takeyuki merawat Deokhye dan pernikahan mereka dikatakan bahagia. Namun kondisi kesehatan mental yang memburuk membuat pasangan itu kehilangan banyak uang untuk perawatan.

Putri Dokhye sempat menjalani kehidupan pernikahan dengan suaminya yang berasal dari keluarga bangsawan Jepang. (Public Domain)

Keadaan menjadi lebih buruk bagi pasangan itu ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik pada tahun 1945. Para bangsawan Jepang kehilangan status dan hak istimewa mereka, juga kekayaan. Takeyuki tidak mampu melanjutkan pengobatan Deokhye. Keduanya bercerai pada tahun yang sama.

10 tahun setelah perceraian mereka, pada tahun 1955, Deokhye kehilangan putri satu-satunya karena bunuh diri. Masae mengalami diskriminasi karena keturunan setengah Korean. Ia pun memutuskan untuk bunuh diri.

Setelah perceraian dan kembali ke Korea

Setelah perceraian, dia ditahan oleh pamannya dan dimasukkan ke bangsal mental selama 15 tahun.

Keluarga kekaisaran mendorongnya untuk kembali ke Korea setelah kemerdekaan Korea Utara dan Selatan. Namun pemerintah kedua rezim menolak untuk menerima keluarga kekaisaran yang mereka anggap sebagai pengkhianat. Baru pada tahun 1962, setelah pengunduran diri Presiden Syngman Rhee dari Korea Selatan, Deokhye diizinkan kembali ke rumahnya.

Pada 16 Januari 1962, dia tiba di Korea Selatan tetapi kesehatannya memburuk. Secara mental dia seperti gadis kecil, sering kesulitan berbicara, membaca, dan menulis. Deokhye dirawat di rumah sakit Universitas Nasional Seoul segera, dirawat karena skizofrenia.

Kepulangannya mengejutkan banyak pihak. Setiap surat kabar meliput kepulangannya dan kondisi mentalnya yang mengejutkan setelah puluhan tahun tinggal di Jepang.

Baca Juga: Kisah Fanatisme Sepak Bola Korea, 'Son Heung-Min Adalah Segalanya'

Baca Juga: Kenapa Banyak Sekali Orang Korea Selatan yang Punya Nama Kim?

Baca Juga: Komunitas Korea Utara di Jepang, Jejak Nyata Perang Dunia II dan Korea

Baca Juga: Kisah Cinta Terpendam 1.500 Tahun Pangeran Persia dan Putri Korea 

Pada tahun 1968, dia keluar dari rumah sakit dan diberi kamar di Istana Changdeokgung. Istana itu merupakan kediaman lama keluarga kerajaan. Kesehatan fisiknya luar biasa untuk usianya. Tetapi secara mental, dia tidak mampu melakukan apa-apa tanpa bantuan perawatnya. Deokhye menghabiskan 21 tahun di Istana Changdeokgung. Sang putri terakhir itu meninggal karena sebab alami pada tahun 1989, pada usia 77 tahun.

Kehidupan Putri Deokhye benar-benar tragis. Diawali dari kehilangan orang tua di usia muda, tinggal di negeri asing, takut akan pembunuhan, mengalami penyakit mental, perceraian, dan kematian putrinya. Menjadi seorang bangsawan dari kekaisaran yang sudah berakhir membawa tragedi dalam hidupnya. Ia pun dipaksa untuk melebur dengan Jepang.

Hidupnya adalah salah satu dari banyak nyawa yang diambil dan dihancurkan oleh penjajahan dan aneksasi Korea. Putri Deokhye adalah bukti nyata teror kolonialisme dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi kehidupan seseorang.

Terlahir di tengah keluarga Kekaisaran Korea, putri terakhir itu harus menjalani kehidupan yang memilukan.