Wastra Pinawetengan, Tenun Leluhur yang Bergulat dengan Zaman

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 17 April 2023 | 09:00 WIB
Motif kain tenun Pinawetengan yang diambil dari simbol Situs Watu Pinawetengan, Minahasa, Sulawesi Utara. Kain ini menjadi identitas etnis Minahasa karena mengandung simbol-simbol leluhur yang sedang berusaha mereka lestarikan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sebenarnya, motif yang diterapkan oleh Rita dalam tenun Pinawetengan baru sebagian. Ada banyak motif yang sudah punah. Ia dan Benny berusaha menghadirkan kembali, tetapi perlu usaha yang sangat keras. Pasalnya, arsip mengenai motif kain tenun Minahasa masih tersimpan rapih di Perpustakaan Nasional dan Leiden University di Belanda.

Pembuatan kain tenun Pinawetengan masih dilakukan dengan tangan. Lama pembuatannya bisa beragam, tergantung dengan tingkat kesulitannya. Bahkan, Rita menjelaskan pengalaman pembuatan tenun terbesar adalah sepanjang 101 meter tanpa sambungan, dan menjadi rekor dunia Guinness pada 7 Juli 2010.

16 model peragaan busana dari kain tenun Pinawetengan Minahasa. (Dok. Kartini Fitri)

"Jujur saja, saya membutuhkan regenerasi karena itu tadi, satunya perajin sudah enggak mampu (lagi melihat). Jadi saya kepikiran kepingin regenerasi," kata Rita. Para perajin tenun Pinawetengan sudah berusia tua, dengan yang paling muda berumur 45 tahun.

Namun, untuk regenerasi tenun Pinawetengan menghadapi tantangan dari anak muda Minahasa. Rita mendapati bahwa generasi muda cenderung enggan untuk terlibat pelestarian tenun Pinawetengan. "Mereka lebih tertarik ingin di kota. Di kota Manado. Nah, sampai sekarang tetap 13 orang [perajin]," jelas Rita.

Baca Juga: Peluang Bebas Karbon: Kain Ini Bisa Menyerap Karbon Dioksida

Baca Juga: Fashion di Romawi Kuno, Kain dan Perhiasan Mahal Jadi Simbol Status

Baca Juga: Kornelis Ndapakamang: Mengikat Tenun Sambil Memberi Peluang Bumi

Baca Juga: Semangat Menyelamatkan Wastra Pusaka Melalui Kekuatan Narasi

Padahal, kain tenun Minahasa sering dijadikan buah tangan pariwisata dengan harga yang mahal. Rita terus berusaha memperkenalkan kain tenun itu agar tetap lestari. Harapannya juga, generasi muda, terutama di Minahasa, tertarik untuk bisa terlibat.

"Harapan kami juga mungkin pemerintah bisa mendukung juga. Karena sayua juga sadar bahwa budaya itu bisa berkembang kalau diapresiasi oleh masyarakat pemeiliknya," lanjutnya.

Pada kegiatan Kartini Fitri, kain tenun Pinawetengan ditampilkan dalam pergaan busana oleh 16 model. Wastra itu juga dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta bersama 14 kerajinan kain lainnya dari seluruh Indonesia.