Wastra Pinawetengan, Tenun Leluhur yang Bergulat dengan Zaman

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 17 April 2023 | 09:00 WIB
Motif kain tenun Pinawetengan yang diambil dari simbol Situs Watu Pinawetengan, Minahasa, Sulawesi Utara. Kain ini menjadi identitas etnis Minahasa karena mengandung simbol-simbol leluhur yang sedang berusaha mereka lestarikan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeograpahic.co.id—Pada 2007, untuk pertama kalinya Rita berusaha mengembangkan tenun Pinawetengan sebagai desain baju wastra Minahasa. Dia tertarik dengan motif dan kebudayaan orang Minahasa yang hampir terlupakan.

Yang membuat wastra tenun Pinawetengan dari yang lain, motif kainnya yang penuh dengan simbol. Simbolnya berhubungan dengan unsur tradisi dan kepercayaan di Minahasa, bahkan berasal dari gambar leluhur dari dari situs Watu Pinawetengan di desa Pinabetengan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

"Jadi pada awal tahun 2004, pertama kali saya diajak ke Manado bahwa ada satu situs namanya Watu Pinawetengan di desa Pinabetengan," jelas perempuan bernama lengkap Iyarita Wiryawati Mawardi dalam gelar wicara "Raya Wastra Nusantara" pada 14 April 2023. Perbincangan itu bagian dari rangkaian Kartini Fitri di Bentara Budaya Jakarta, berlangsung 12―15 April 2023 .

Watu Pinawetengan adalah situs yang disakralkan oleh orang Minahasa. Situs ini menjadi simbol demokrasi tradisional bagi orang Minahasa. Mereka berkumpul untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik.

Selain itu, menurut kepercayaan, di tempat inilah etnis Minahasa terbagi menjadi sembilan suku: Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik, dan Siau.

Motif kedua sebagai identitas wastra Pinawetengan, adalah celepuk. Burung hantu kecil dengan nama latin Otus manadensis itu adalah simbol bagi orang Minahasa. Konon, burung celepuk adalah wadah bagi leluhur bisa berkomunikasi dengan yang masih hidup.

Simbol celepuk juga dipakai dalam berbagai lambang seperti Kota Manado, Kota Tomohon, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Minahasa Selatan, dan Gereja Injili di Minahasa.

Motif-motif lainnya adalah 'tembega', 'sualang', dan 'patola'. 'Tembega' adalah motif berbentuk perhiasan perempuan leluhur Minahasa yang mirip garuda dalam tenunan. 'Sualang' juga sama dengan 'tembega', tetapi dengan bentuk mirip bulan sabit. Sementara 'patola', merupakan tenun dengan tekstur dan tampilan warna yang menyerupai sisik ular.

Ragam simbol itu kemudian diterapkan pada kain tenun Minahasa sebagai gaya Pinawetengan. Saat mengembangkan wastra tersebut, ia mengadakan pelatihan kepada sekitar 200 perajin tenun.

Kain tenun Minahasa dengan motif cepluk. Burung hantu kecil yang tersebar di Sulawesi Utara ini menjadi simbol kedekatan para leluhur dengan yang masih hidup, menurut keyakinan tradisi Minahasa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Tetapi yang menetap itu hanya 16 orang," tuturnya. "Sekarang sisa 13 karena yang tiga itu pensiun. Usia juga sudah tidak bisa melihat jauh―enggak mampu. Jadi sekarang ini, 13 [perajin]."

Untuk mengulik kain tenun, Rita tidak sendiri. Ketertarikan itu tumbuh ketika diajak oleh suaminya, Benny Mamoto yang memiliki ketertarikan terhadap kebudayaan Minahasa. Mengetahui tradisi wastra Minahasa terancam punah, Rita pun melestarikannya dalam bentuk kerajinan dengan melibatkan masyarakat Minahasa sendiri.

Sebenarnya, motif yang diterapkan oleh Rita dalam tenun Pinawetengan baru sebagian. Ada banyak motif yang sudah punah. Ia dan Benny berusaha menghadirkan kembali, tetapi perlu usaha yang sangat keras. Pasalnya, arsip mengenai motif kain tenun Minahasa masih tersimpan rapih di Perpustakaan Nasional dan Leiden University di Belanda.

Pembuatan kain tenun Pinawetengan masih dilakukan dengan tangan. Lama pembuatannya bisa beragam, tergantung dengan tingkat kesulitannya. Bahkan, Rita menjelaskan pengalaman pembuatan tenun terbesar adalah sepanjang 101 meter tanpa sambungan, dan menjadi rekor dunia Guinness pada 7 Juli 2010.

16 model peragaan busana dari kain tenun Pinawetengan Minahasa. (Dok. Kartini Fitri)

"Jujur saja, saya membutuhkan regenerasi karena itu tadi, satunya perajin sudah enggak mampu (lagi melihat). Jadi saya kepikiran kepingin regenerasi," kata Rita. Para perajin tenun Pinawetengan sudah berusia tua, dengan yang paling muda berumur 45 tahun.

Namun, untuk regenerasi tenun Pinawetengan menghadapi tantangan dari anak muda Minahasa. Rita mendapati bahwa generasi muda cenderung enggan untuk terlibat pelestarian tenun Pinawetengan. "Mereka lebih tertarik ingin di kota. Di kota Manado. Nah, sampai sekarang tetap 13 orang [perajin]," jelas Rita.

Baca Juga: Peluang Bebas Karbon: Kain Ini Bisa Menyerap Karbon Dioksida

Baca Juga: Fashion di Romawi Kuno, Kain dan Perhiasan Mahal Jadi Simbol Status

Baca Juga: Kornelis Ndapakamang: Mengikat Tenun Sambil Memberi Peluang Bumi

Baca Juga: Semangat Menyelamatkan Wastra Pusaka Melalui Kekuatan Narasi

Padahal, kain tenun Minahasa sering dijadikan buah tangan pariwisata dengan harga yang mahal. Rita terus berusaha memperkenalkan kain tenun itu agar tetap lestari. Harapannya juga, generasi muda, terutama di Minahasa, tertarik untuk bisa terlibat.

"Harapan kami juga mungkin pemerintah bisa mendukung juga. Karena sayua juga sadar bahwa budaya itu bisa berkembang kalau diapresiasi oleh masyarakat pemeiliknya," lanjutnya.

Pada kegiatan Kartini Fitri, kain tenun Pinawetengan ditampilkan dalam pergaan busana oleh 16 model. Wastra itu juga dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta bersama 14 kerajinan kain lainnya dari seluruh Indonesia.